Thursday, March 29, 2007

Cerita dari Uruguay

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Kali ini bude Ocie ingin cerita tentang perjalanan bude Ocie dan oom Andre ke Uruguay. Untuk bisa pergi ke Uruguay, sebagai orang Indonesia kita harus mendapatkan visa masuk ke Uruguay. Tidak ada kedutaan Uruguay di Indonesia, jadi kalau tidak memasukkan permohonannya di Kuala Lumpur, kita bisa juga mengirimkan permohonannya lewat email. Pada waktu itu bude mengirimkan permohonan visanya ke Kantor Konsulat Uruguay yang ada di Chile. Tapi sampai bude berangkat ke Argentina, bude belum terima persetujuan mendapatkan visanya, jadi bude harus pergi ke Kedutaan Uruguay yang ada di Buenos Aires. Karena sudah diproses dan dibantu oleh seorang teman di Uruguay, maka tidak terlampau sulit, tapi tetap saja kami harus dua kali datang kesana sampai dapatkan visanya. Padahal untuk masuk ke Chile dan Peru orang Indonesia tidak perlu pakai visa, sama seperti kalau kita mau ke negara-negara ASEAN. Enak sekali. Tapi kalau ke Argentina dan Uruguay kita harus pakai visa.

Setelah dapat visa, bude Ocie dan oom Andre pergi ke terminal Buquebus untuk pesan tempat. Buquebus adalah alat angkutan air seperti kapal ferry tapi mewah. Kita bisa pesan di kelas 1 atau di kelas ekonomi. Tidak banyak bedanya hanya tempat duduk di kelas 1 sedikit lebih lebar dan tempatnya di lantai atas. Di dalam Buquebus ini bahkan ada Duty Free Shop, itu lho Toko Bebas Bea yang biasanya ada di bandara-bandara. Disini kita bisa beli barang-barang tanpa harus bayar bea masuk/pajak.

Sewaktu kami akan masuk kedalam Buquebus, kami harus melewati pemeriksaan imigrasi. Yang unik adalah kami harus melewati imigrasi Argentina dan kemudian langsung ke imigrasi Uruguay yang letaknya bersebelahan. Betul-betul bersebelahan mejanya. Cukup unik bukan? Belum pernah rasanya bude lihat yang begini, biasanya paling tidak ada jarak beberapa meter (kalau di darat bisa beberapa ratus meter), tapi disini betul-betul hanya bersebelahan meja. Jadi petugas imigrasi Argentina akan mencap paspor kita untuk keluar Argentina dan kemudian dia akan memberikan paspor kita kepada petugas imigrasi Uruguay untuk dicap masuk Uruguay. Sangat cepat dan efisien kalau semua syarat-syarat sudah ada. Yang membuat lama adalah karena bude Ocie ingin kembali masuk ke Argentina tapi ternyata visa Argentinanya dihitung tidak hanya selama bude disana tapi sejak mulai masuk Argentina dan berakhir 15 hari setelah itu walaupun bude baru disana selama 7 hari saja. Jadi bude tidak akan bisa balik lagi ke Argentina kalau bude berada di Uruguay lebih dari 7 hari. Repot sekali kan? Padahal petugas di kedutaan Argentina menerangkan bahwa 15 hari itu kumulatif masa tinggal di Argentina. Wah jadi rugi bude tidak bisa kembali ke Argentina hanya gara-gara petugas kedutaan Argentina salah menerangkan. Makanya kita harus hati-hati pada saat memasukkan permohonan visa, jangan hanya percaya pada petugasnya karena yang terjadi di lapangan bisa berbeda dengan yang diterangkannya dan tidak ada yang bertanggung jawab untuk kesalahan ini.

Akhirnya kami bisa masuk Buquebus dan duduk di kelas 1 dengan nyamannya. Di sini kita tidak akan diberikan makan atau snack, tapi ada tempat yang jualan makanan dan minuman di dalam Buquebus ini. Karena ini pertama kali bude naik angkutan air dari satu negara ke negara lain, maka bude tidak ingin makan atau minum, hanya ingin menikmati perjalanannya dan mengamati bagaimana perjalanan ini. Pemandangan ke arah belakang ke kota Buenos Aires sangat indah dari Rio de la Plata yang kami lewati untuk sampai ke kota Montevideo, ibukota Uruguay. Seperti bude Ocie sampaikan di surat yang lalu, air di lautan yang memisahkan Buenos Aires dan Montevideo ini warnyanya bukan biru tapi coklat, seperti warna air sungai. Mereka bilang karena memang ini bukan lautan tapi sungai Plata. Warnanya coklat keemasan gitu.

Perjalanan dari Buenos Aires ke Uruguay memakan waktu 2 jam. Tapi karena bude Ocie sangat ‘excited’ dengan pengalaman pertama naik Buquebus ini jadi tidak terasa. Kami akhirnya sampai di terminal Buquebus di Montevideo. Terminal Buquebus yang di Buenos Aires sudah seperti bandara saja, tapi yang di Montevideo lebih tua. Setelah mengambil bagasi, kami berdua mencari teman kami di Montevideo yaitu oom Agustin, tapi sampai semua pergi dari terminal kok belum kelihatan juga. Akhirnya kami berdua naik taksi ke hotel yang sudah kami pesan. Kami agak khawatir karena kami belum punya uang Uruguay, tapi ternyata supir taksinya baik sekali, kami boleh bayar pake uang peso Argentina! Nanti bude akan cerita lebih banyak tentang taksi di Montevideo ini.

Hotel yang dipesankan oleh oom Agustin ternyata terletak di tengah kota dan sangat dekat dengan Cinemateca 18, tempat dimana akan diadakan Festival de Invierno (Winter Film Festival). Film dokumenter kita ‘TERLENA – Breaking of a Nation’ akan ikut serta disini. Oom Agustin adalah yang membuat terjemahan film ini kedalam bahasa Spanyol. Festival ini adalah khusus untuk film dokumenter.

Malam itu ternyata oom Agustin menunggu di pintu yang berlainan, bukan di pintu kami keluar, jadi kita tidak ketemu di terminal. Tapi waktu kami sedang check-in di hotel Klee, oom Agustin datang. Oom Agustin masih sangat muda, baru 22 tahun usianya, tapi dialah yang menjadi Pemimpin Redaksi ’Revista Z’, sebuah majalah progresif di Uruguay. Orangnya keren, khas pemuda Latino, tinggi, berambut sebahu dan tidak banyak bicara. Tapi ternyata oom Agustin seorang pekerja keras, karena sewaktu malam itu kami makan malam bersama, dia sudah memberikan jadual acara yang harus kita datangi, dan hampir tiap hari ada saja acara yang sudah diatur olehnya. Ada acara pemutaran film kita, tentu dengan acara penjelasan atas film ini, ada juga wawancara dengan koran, majalah, radio dan bahkan televisi. Belum lagi acara bincang-bincang dengan teman-temannya di Montevideo. Wah kami cukup kagum dengan si oom yang satu ini. Tidak banyak bicara tapi banyak bekerja!

Hotel Klee tempat kami menginap juga tidak kalah menarik. Letaknya di pojokan antara Jl. San Jose dan Aquiles Lanza, hanya 20 meter dari salah satu jalan utama di Montevideo, yaitu Avenida 18 de Julio. Hotelnya kecil, hanya 4 lantai, tapi sangat bersih dan kamarnya sangat nyaman. Ada penghangat udara karena sekarang ini sedang musim dingin dan suhu udara bisa mencapai 4 derajat Celsius! Tarif kamarnya juga murah, hanya 25 dolar per malam, sudah termasuk makan pagi. Pegawai hotelnya sangat ramah dan bahkan salah seorang diantara mereka bilang kalau mereka akan datang di hari pemutaran film kami karena mereka sangat tertarik dengan apa yang terjadi di Indonesia. Sangat mengharukan mendengar orang mengatakan hal itu padahal di Indonesia saja jarang sekali kami mendengar orang antusias menonton film kami. Mengapa ya? Apakah orang Indonesia memang sudah benar-benar terlena?

Tepat diseberang hotel kami ada sebuah bangunan tua, dulunya pasar, tapi sekarang sudah diubah menjadi tempat makan seafood dan tempat kerajinan tangan Uruguay, namanya Centro Cultural Mercado de los Artesanos. Di lantai bawah mereka gunakan untuk tempat kerajinan tangan dari berbagai seniman di Uruguay, sedangkan lantai atas digunakan untuk tempat makan. Kalau lihat tempatnya sih pasti tidak menyangka kalau makanannya sangat enak disini. Bayangkan bangunan tua bekas pasar, langit-langitnya tinggi, dan arealnya dibagi menjadi beberapa restoran terbuka. Karena musim dingin, makan ada tungku pemanas jaman dahulu tersebar di beberapa tempat. Bude selalu pilih tempat yang dekat tungku pemanas ini karena hawanya dingin sekali. Makanan seafoodnya enak sekali dan murah. Menu makan siang termasuk ikan, kentang goreng/rebus, minuman dan makanan penutup bisa kita nikmati hanya dengan membayar sekitar 3 dollar saja. Tidak heran, kalau jam makan siang, tempat ini penuh sesak. Orang yang datang termasuk profesor, usahawan, seniman, juga mahasiswa dan karyawan. Rupanya yang menjadi favorit adalah ikan panggang/bakar dan makanan penutup ’dulce de leche’. Ikan panggang atau ikan bakarnya tidak usah pakai saus apapun, hanya dengan jeruk saja, sudah sedaaaaap sekali. Dan dulce de leche ini sebangsa puding susu khas Amerika Latin. Kita bisa dapatkan di berbagai negara di Amerika Latin, tapi kata orang Uruguay, dulce de leche dari Uruguay yang paling sedap.

Kalau di malam hari, kota ini tidak seramai Buenos Aires, tapi masih banyak tempat yang ramai dikunjungi penduduk Montevideo. Mereka juga senang makan dan kumpul-kumpul. Yang paling banyak menjadi tempat kumpul adalah Cinemateca dan Pizzaria. Banyak warung pizza yang menyuguhkan hidangan khas italia ini dengan harga yang sangat terjangkau mahasiswa dengan cita rasa yang tidak kalah dengan di Italia sendiri. Mau jam berapapun kita datang, mereka masih buka. Banyak orang yang pulang kerja terus nongkrong bersama teman-temannya makan pizza dan minum soda di warung-warung seperti ini. Kalau kita bicara warung, tidak seperti warung pinggir jalan di Jakarta yang kebanyakan kurang bersih, disini semua harus bersih, jadi orang juga senang makan disini. Karena ini musim dingin, maka warung-warung ini ditutup tenda tembus pandang dan didalamnya ada pemanas udara. Pernah waktu bude Ocie dan oom Andre kelaparan tengah malam, ternyata masih ada keluarga yang membawa bayinya makan disana!!

Makanan Italia adalah salah satu jenis makanan yang paling mudah dicari di Uruguay dan penduduknya sangat senang berkumpul di restoran yang menyajikan jenis makanan ini selain tentunya restoran yang menyajikan ‘asado’ atau daging panggang dengan menggunakan kayu.

Festival Film Musim Dingin yang diadakan di Montevideo adalah salah satu acara seni yang sangat diminati kalangan elite disini. Cinemateca 18 – tempat pemutaran film kami ‘TERLENA – Breaking of a Nation’- berkapasitas 700 orang. Penduduk Montevideo juga dimanjakan dengan pemutaran film-film seni di sini dengan membayar biaya keanggotaan yang sangat murah dan mereka bisa menonton film apapun kapanpun selama 6 bulan keanggotaan. Bude Ocie perhatikan, kebanyakan yang datang adalah anak-anak muda, mahasiswa atau karyawan, tapi cukup banyak pula orang yang sudah tua, bahkan lebih tua dari eyang di Bandung, yang datang untuk mononton film kami. Direktur dari Cinemateca 18, dan juga Ketua Panitia Festival Film ini juga sudah cukup umur, namanya Bapak Manuel . Tapi dia masih sangat aktif dan setiap hari masih memperkenalkan sutradara/produser film dokumenter yang ikut serta dalam festival ini. Oom Andre juga diperkenalkan oleh pak Manuel ini sewaktu harus memberikan penjelasan tentang film yang akan diputar. Setelah film diputar, banyak sekali yang memberikan selamat kepada kami berdua, mengucapkan terimakasih sudah membuat film ini dan membawanya ke kota mereka, dan juga banyak yang mengajak kami minum kopi bersama setelah pertunjukan. Orang Uruguay mengatakan bahwa banyak kesamaan antara apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dengan yang terjadi di negara mereka tapi dalam skala yang sangat kecil.

Setelah pemutaran film kami bersama oom Agustin dan teman-temannya pergi ke salah satu pizzaria tidak jauh dari Cinemateca 18. Salah satu diantara yang ikut serta adalah seorang sutradara film Uruguay yang tinggal di Barcelona – namanya oom Carlos Callero – dan dia ingin sekali agar Terlena ikut serta dalam festival film Barcelona yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Tentu saja oom Andre dan bude Ocie senang sekali kalau kita bisa ikut serta lagi dalam festival film disana! Kami ngobrol ngalor ngidul sampai pagi sambil makan pizza bersama teman-teman dari Montevideo. Rasanya sudah lama juga tidak bergadang ngobrol ngalor ngidul sampai pagi. Ada yang pemusik, ada yang bekerja bersama oom Agustin di Revista Z, ada juga yang bekerja di Cinemateca, dan beberapa jurnalis. Sewaktu kita membicarakan seni dan musik Indonesia, mereka bahkan meminta bude Ocie untuk memperlihatkan bagaimana tarian Bali itu... hehehe... terbayang kan bude Ocie menari sedikit di sana? Akhirnya kita semua sepakat pulang hampir pukul 3 dini hari. Bude Ocie dan oom Andre bisa jalan kaki pulang ke hotel kami, tapi teman-teman lain harus naik taksi karena angkutan umum sudah sangat jarang. Yang jelas kota ini juga sangat aman. Cewek-cewek berani pulang sendirian bahkan pada jam 3 dini hari!!

Oke, kali ini sampai sini dulu, nanti bude sambung dengan cerita tentang kota Montevideo ya.

Cium kangen,

Bude Ocie

Jalan-jalan ke Tigre

Yang tersayang mas Adna dan adek Ilham,

Setelah beberapa hari di Buenos Aires, oom Andre dan bude Ocie memutuskan untuk mengunjungi Tigre, sebuah tempat unik kurang lebih satu jam dari Buenos Aires. Biasanya orang Buenos Aires datang kesini untuk berakhir pekan. Kami pergi naik kereta kesana. Sayang sekali, kami tidak sadar kalau hari itu adalah hari libur nasional mereka, sehingga kereta yang ke Tigre sangat penuh. Akhirnya kami harus berdiri selama 1 jam dari Buenos Aires. Keretanya sih nyaman, tapi penuh sekali dengan orang-orang yang akan ke Tigre atau ke tujuan lain di dalam kota Buenos Aires. Mungkin jaraknya hampir sama kalau kita ke Bogor dan keretanya berhenti di kalau nggak salah 10 stasiun sebelum sampai di Tigre, tapi termasuk cepat dan yang penting keretanya ber-AC/pemanas, jadi walaupun pada waktu itu cuaca dingin, kita tetap nyaman. Capek juga sih kalau harus berdiri...:-) Jadi waktu pulangnya, kita sengaja menunggu kereta berikutnya untuk dapat tempat duduk...:-)

Tigre terletak di Rio de la Plata (sungai yang airnya berwarna perak kecoklatan karena memancarkan warna tanah di dataran sungainya). Di sana ada beberapa kanal yang akan membawa kita ke muara sungai. Kami naik perahu reguler yang memang melayani angkutan sepanjang sungai ini. Tempat-tempat yang kami lewati di kanal-kanal sungai ini penuh dengan villa-villa ataupun rumah-rumah tinggal dengan arsitektur unik. Karena daerah ini juga merupakan tempat berakhir pekan warga Buenos Aires, maka tentu saja ada restoran-restoran dengan berbagai gaya. Biasanya di terminal perahu di Tigre kita akan ditawari untuk singgah di restoran-restoran ini dengan menggunakan perahu khusus, tapi tentu saja dengan harga yang lebih mahal. Untuk yang ingin sedikit berpetualang, naik saja perahu reguler dengan membayar 7 Peso per orang untuk perjalanan pulang pergi, dan turun di restoran yang diinginkan. Harga tersebut sudah termasuk berhenti beberapa kali untuk melihat tempat-tempat yang ada di sepanjang kanal-kanal sungai ini.

Oom Andre dan bude Ocie memutuskan untuk singgah di Museo Casa de Sarmiento (rumah museum salah satu presiden pertama Argentina, Sarmiento) yang letaknya di salah satu kanal. Rumah mantan presiden ini masih terawat dengan baik, dan ditutup dengan rumah kaca sehingga kita masih bisa mengunjunginya namun rumahnya tidak terkena perubahan cuaca langsung. Rumah museum ini sangat kecil bila diingat siapa yang pernah tinggal didalamnya. Sangat sederhana. Namun yang menonjol adalah sebuah meja kerja yang kelihatannya merupakan tempat dimana beliau menghabiskan waktunya selama tinggal disana.

Kami berdua memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran tidak jauh dari museum Sarmiento ini. Makanannya segar, enak dan dengan pemandangan yang indah ke arah sungai yang bersih, tenang dan dengan cuaca yang hangat. Pelayanan di restoran ini sangat cepat walaupun hanya restoran kecil dan cukup banyak pengunjung yang harus dilayani. Kalau saja pengusaha restoran di Indonesia bisa meniru bagaimana baiknya pelayanan disini...

Setelah puas makan, kami kembali ke kota Tigre dan berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Rasanya nikmat sekali bisa berjalan-jalan di sepanjang pinggiran sungai. Banyak orang yang duduk-duduk di pinggiran sungai, di hamparan rumputnya. Mereka sangat disiplin untuk tidak mengotori tempat-tempat ini, sehingga kita bisa melihat begitu banyak orang disana, tapi tidak ada sampah berserakan. Anak-anakpun sudah diajari tentang pentingnya menjaga kebersihan ini, sehingga mereka sudah biasa untuk membuang sampah ditempat yang sudah disediakan. Kami berdua juga akhirnya duduk-duduk di rumput di pinggiran sungai sambil makan es krim. Untuk mengelilingi kotanya dengan berjalan kaki juga nyaman, karena selalu ada tempat khusus pejalan kaki dan jalanannya rindang dengan banyak pohon disepanjang jalan.

Akhirnya kami berdua cape juga berkeliling di kota Tigre sambil dibuntuti oleh seekor anjing yang tampangnya sih sangat mengerikan tapi benar-benar tidak menggigit atau menggonggong, hanya setia saja mengikuti kami kemanapun kami pergi. Anjing itu pergi ketika kami masuk ke stasiun untuk kembali ke Buenos Aires. Aneh bukan? Kata oom Andre, anjing itu ngikutin bude karena bude takut anjing, hehehe...

Cium sayang,

Bude Ocie

Kehidupan Budaya di Buenos Aires

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Bude lanjutkan cerita dari Buenos Aires dengan kehidupan budayanya yang sangat intensif.

Orang Argentina yang tinggal di Buenos Aires sangat senang mengunjungi bioskop, teater atau pertunjukan apapun yang ada disana. Mereka orang yang sangat cinta kehidupan dan sangat menikmatinya. Walaupun musim dingin, mereka tetap disiplin antri di luar gedung untuk masuk ke bioskop atau gedung teater. Bahkan anak-anak kecilpun ikut antri untuk menonton film anak-anak.

Suatu hari sepulang dari jalan-jalan ke Tigre, kami tidak langsung kembali ke hotel, tapi langsung pergi ke Bioskop Lorca untuk menonton film ’La vida es un milagro’ atau artinya ’Hidup adalah mukjizat’ dengan sutradara dari Serbia, Emir Kusturica. Sutradara ini adalah salah satu favoritnya oom Andre. Kalau bude Ocie sih baru pertama kali ini lihat film yang disutradarainya karena kita di Indonesia jarang sekali diputar film-film dari sutradara kelas dunia seperti Kusturica. Film ini sangat menarik dan unik. Walaupun filmnya cukup panjang, 155 menit, tapi karena ceritanya sangat menarik dan pengambilan gambarnya bagus, tidak terasa lama. Warga Buenos Aires sangat menghargai karya seni, jadi walaupun filmnya diputar jam 10 malam, bioskopnya tetap saja penuh dan orang masih rela mengantri untuk pertunjukan yang lewat tengah malam. Bayangkan, jam 1 pagi di kota ini kelihatannya masih seperti jam 8 malam kalau di Jakarta, padahal bukan akhir minggu lho. Orang masih ramai sekali berlalu lalang, antri masuk ke bioskop, antri masuk teater, kafe-kafe juga penuh dengan orang yang sekedar cari kopi panas, atau makanan penutup, atau hanya untuk bertemu teman-teman. Rasanya kota ini tidak pernah tidur.

Oh ya, ada hal yang unik di kota Buenos Aires ini. Di kota ini orang bisa buang sampah sembarangan saja, tapi kelihatannya memang sengaja tidak dibersihkan sepanjang hari. Kata teman yang tinggal disana, kota ini dibersihkan pada saat subuh, dengan menyentorkan air dari selang yang biasa dipakai untuk pemadam kebakaran dan airnya akan menghanyutkan semua sampah itu. Memang kalau kita bangun pagi dan jalan keluar hotel untuk jalan-jalan pagi, kota ini terasa bersih dan segar. Nggak heran ya, wong disentor air....

Banyak orang bilang, kita belum bisa bilang sudah pernah ke Buenos Aires kalau belum pernah singgah di tempat yang namanya La Boca. La Boca adalah sebuah tempat pelabuhan lama yang dulunya sangat terkenal sebagai tempat tinggal orang imigran. Namun sekarang tempat ini digunakan sebagai tempat orang-orang dari Buenos Aires dan turis-turis berkumpul untuk menikmati tarian tango, musik Milonga (musik balada dari Argentina dan Uruguay), lukisan-lukisan orang menari tango dan aneka rupa kesenian yang lain. Jalan utamanya dinamakan Caminito, dan jalan ini dengan bangunan dipojoknya dan bangunan-bangunan yang berwarna-warni disana sangat terkenal ke seluruh penjuru dunia. Sekarang ini bangunan yang ada di pojok itu adalah sebuah toko yang menyediakan aneka macam kerajinan tangan. Di beberapa tempat terbuka, kita bisa menikmati tarian-tarian tango secara gratis. Pada akhir acara mereka akan minta sumbangan cuma-cuma tapi kalau tidak memberi juga tidak apa-apa. Rasanya tarian yang dimainkan di lapangan terbuka ini lebih ekspresif daripada yang dimainkan di panggung. Hiburan murah yang bisa dinikmati warga Buenos Aires maupun turis-turis di akhir minggu.

Selain menonton tarian tango, ada pula restoran yang juga menyediakan suguhan tarian tango di dekat meja-meja pengunjung; nantinya pengunjung akan ditawari untuk belajar menari atau langsung menari bersama penari tango yang asli. Waktu bude Ocie dan oom Andre disana, ada pertunjukan menarik dari seorang turis muda dari Jepang yang awalnya sangat kaku untuk menari, tapi pada akhirnya dengan bimbingan penari asli yang ganteng itu jadi bisa juga nari tango... Sebetulnya ingin juga belajar menari tango tapi oom Andre tidak mau. Ya sudah nanti saja lain kali ya...

Setelah puas menikmati tari-tarian tango, musik Milonga, musik balada dan lukisan-lukisan di sana, kami kembali ke pusat kota Buenos Aires naik bis kota. Kami harus mengejar waktu karena kami sudah punya karcis untuk pertunjukan drama musikal ’El Hombre de la Mancha’ di Teatro Nacional. Orang sudah antri dijalanan ketika kami tiba di sana, tapi mereka sangat tertib, tidak ada yang dorong mendorong dan bikin ribut. Karena sudah ada nomor tempat duduk (tidak seperti kalau pergi ke bioskop), akhirnya kami pergi makan malam dulu sebelum melihat pertunjukan drama musikal ini. Di sekitar teater banyak sekali restoran-restoran yang buka sampai dini hari, tapi jarang sekali bude ketemu dengan restoran siap saji (fast food) seperti di Jakarta. Kebanyakan restoran atau kafe yang memiliki keunikan sendiri sehingga pengunjung bisa memilih ingin makan apa, makanan Italia, makanan Cina, Rusia, Jepang, Jerman, atau yang khas Argentina. Argentina terkenal dengan daging sapinya yang termasuk salah satu yang paling baik di dunia. Di sini kalau kita order steak, maka yang datang pasti dengan porsi besar sekali, padahal harganya paling hanya 10 peso saja! Porsi steak yang ada di Jakarta sangat kecil kalau dibandingkan dengan porsi disini tapi harganya bisa lebih mahal 3 kali lipat!

Pertunjukan kali ini adalah dalam rangka 100 tahun Don Quijote yang sangat terkenal itu. Mas Adna dan adek Ilham pernah dengar cerita tentang Don Quijote? Don Quijote atau Don Quixote de la Mancha adalah sebuah novel yang ditulis oleh novelis Spanyol Miguel de Cervantes Saavedra. Cerita singkatnya sih begini: Alonso Quixano adalah seorang tuan tanah yang sudah membaca banyak sekali cerita tentang kesatriaan sehingga dia berfantasi bahwa dia adalah seorang ksatria dengan nama Don Quixote dari La Mancha. Dalam fantasinya, dia bersama sahabatnya Sancho Panza, dia pergi untuk menyelamatkan pujaan hatinya Dulcinea del Toboso yang berasal dari kampung tetangga. Novel ini termasuk salah satu karya fiksi yang paling berpengaruh dalam literatur barat modern. Nanti kalau sudah besar, mas dan adek baca novel ini ya?

Dengan didukung penyanyi-penyanyi terkemuka, pertunjukan ini sangat sukses. Sudah lama rasanya tidak melihat pertunjukan drama musikal. Di Jakarta, rasanya jarang sekali kita bisa menonton pertunjukan berkualitas seperti ini. Di Buenos Aires, kegiatan seni ini selalu ada, bergantian, dan jarang sekali ada waktu kosong dimana tidak ada kegiatan seni di kota ini. Selalu ada. Warganya memang menuntut adanya aktivitas seni yang terus menerus. Mereka haus akan segala bentuk kegiatan seni. Bisa dilihat dari selalu penuhnya teater, opera, konser, ataupun bioskop dengan orang yang antri walaupun sampai dini hari.

Di malam yang lain kami sengaja naik taksi ke sebuah kompleks bioskop, namanya Arteplex, yang letaknya di pinggir kota. Kompleks bioskop ini, sesuai dengan namanya, hanya memutarkan film-film seni, yang kebanyakan bukan berasal dari Hollywood. Malam itu kami nonton ’Gente di Roma’ atau ’Orang-orang Roma’ yang disutradarai oleh Ettore Scola yang berasal dari Italia. Filmnya lucu sekali, walaupun bude Ocie belum fasih berbahasa Spanyol dan filmnya berbahasa Italia, tapi bisa menangkap kelucuan dari film ini. Film ini menggambarkan kehidupan orang-orang di kota Roma yang sangat beraneka ragam. Banyak tempat-tempat di film ini yang mengingatkan Bude waktu berkunjung ke sana.

Seperti yang sudah bude ceritakan sebelumnya bahwa warga Buenos Aires sangat menyukai kehidupan malam. Malam hari bagi mereka adalah waktunya untuk bersosialisasi. Bahkan di pinggiran kota seperti malam ini, mereka yang datang ke Arteplex masih sangat banyak, walaupun pada waktu film selesai, jasa pelayanan metro sudah tidak ada. Metro hanya ada sampai pukul 11:30 malam. Karena belum makan malam, maka kami mampir di Pizzaria di dekat Arteplex. Waduh, ternyata masih penuh saja pengunjungnya. Pizzaria ini bukan seperti restoran pizza yang ada di Jakarta, mereka dimiliki oleh orang yang datang dari Italia dan kokinya juga imigran dari Italia. Masakannya enak dan cepat disajikan. Pelayannya ramah walaupun hari itu sudah lewat tengah malam. Pengunjung yang datang masih banyak termasuk keluarga dengan beberapa anak kecilnya. Memang orang Buenos Aires betul-betul orang yang hidupnya di malam hari.

Hari berikutnya oom Andre harus mengambil photo-photo dari kota Buenos Aires ini. Jadi hari ini kami berkeliling kota hanya untuk sesi pengambilan photo. Sebelumnya kami hanya membawa kamera digital saja, tapi kali ini oom Andre membawa kamera profesionalnya karena photo-photo dari sini akan dikirim ke Republik Ceko untuk majalah Koktejl. Kami mulai dari Jalan Corrientes yang kebetulan dekat sekali dengan hotel dimana kami tinggal. Jalan ini cukup panjang dan penuh dengan teater, bioskop, restoran dan toko-toko maupun hotel. Sepanjang hari rasanya kehidupan di jalan ini tidak pernah berhenti. Setelah puas ambil gambar disini, kami melanjutkan dengan naik bis ke pemakaman umum Recoletta, dimana terdapat makam Eva Peron, mantan istri presiden Juan Peron. Kalau kita bicara pemakaman, maka kompleks pemakaman yang ini sangatlah berbeda dengan kebanyakan pemakaman umum yang ada di Indonesia. Di sini, setiap makam atau beberapa makam menempati ruangan tersendiri. Masing-masing makam terbuat dari marmer. Rumah-rumah kecil ini sangat terurus, dan bahkan beberapa ada yang sangat mewah. Marmer-marmernya kelihatan sangat mewah dan mahal. Jadi suasana makamnya tidak menakutkan sama sekali. Mungkin takut juga sih kalau kesananya malam hari... Herannya orang di Republik Ceko sangat suka dengan cerita dan photo-photo makam seperti ini. Beberapa bulan lalu, oom Andre juga pergi ke Manila dan kondisi pemakamannya juga hampir mirip, walaupun di sini lebih mewah daripada yang di Manila. Bedanya juga yang di Manila, kita bisa berkaraoke dan makan malam bersama keluarga yang mengunjungi makam kerabatnya. Bayangkan berkaraoke di pemakaman, aneh juga kan?

Sesi pemotretan kami lanjutkan dengan Design Center yang terletak tidak jauh dari kompleks pemakaman ini dan juga hanya kurang lebih 1 blok dari salah satu gereja tertua di Buenos Aires. Design Center disini sangat berbeda dengan yang ada di Jakarta. Bangunannya sangat keren dan toko-toko yang ada menyediakan barang-barang unik yang jarang kita peroleh di toko lain dan harganya pun wajar. Kalau di Jakarta Design Center, belum apa-apa kita sudah ngeri lihat harga yang sangat mahal, tapi kalau di Recoletta Design Center ini kita malah diajak untuk mengapresiasi seni pembuatan barang-barang dan material untuk desain dan sangat mungkin untuk direalisasikan. Ada juga beberapa barang kerajinan dari Indonesia, terutama anyaman dan patung-patung. Rasanya bangga juga lihat ada barang kita disana, tapi kok hanya sedikit sekali ya? Favorit bude Ocie dan oom Andre adalah porselen dari Mexico yang warna warni dan dengan lukisan khas Mexico. Kalau saja tidak ingat bahwa bawanya sulit dan berat, rasanya sih ingin beli juga... Kebayang bisa dipake untuk keramik di dapur atau di ruang makan.... hmmm...

Sampai disini dulu ya cerita bude.

Salam sayang,

Bude Ocie

Cerita dari Buenos Aires

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Apa kabar sayang? Bude sudah kangen sekali sama kalian. Katanya mas dan adek sudah bisa mandiri ya kalau mbak Tini nggak ada. Wah hebat dong. Mas Adna sudah bisa jagain rumah dan jagain adeknya ya... Adek juga sudah bisa bantuin mas ya? Hebat deh.

Kali ini bude Ocie ingin cerita tentang perjalanan bude Ocie dan oom Andre ke Argentina. Kami berdua naik pesawatnya orang Argentina, yaitu Aerolineas Argentina, dan lucunya kami sampai di Buenos Aires masih pagi sekali, dan kapten pilotnya kayaknya ngebut deh bawa pesawatnya, sehingga kami tiba di bandara Ezeiza setengah jam lebih cepat dari jadual. Kita semua sudah senang sekali karena dengan demikian kan bisa istirahat lebih cepat, karena kita berangkat dari kota Lima di Peru sudah lewat tengah malam. Eeeehhh ternyata, pada saat kita mendekati loket imigrasi di bandara Ezeiza semua loket kosong, tidak ada petugasnya. Nah lho jadi bagaimana ini, padahal kita kan tidak bisa main masuk aja ke negara orang tanpa pemeriksaan imigrasi. Heran juga ya, padahal kan Argentina sudah biasa kedatangan pesawat pada pagi hari seperti ini. Jadi akhirnya kita menunggu juga, malahan sambil berdiri, selama setengah jam juga sampai petugasnya datang! Payah deh, belum lagi kita harus menunggu selama 1 jam sampai bagasi kita datang.

Buenos Aires adalah ibukota negara Argentina. Letaknya menghadap ke Lautan Atlantik. Ini pertama kalinya bude Ocie melihat lautan ini dari dekat. Yang berada di antara negara Indonesia dengan benua Amerika adalah lautan Pasifik. Tapi yang aneh adalah katanya yang ada diantara kota Buenos Aires and kota Montevideo di Uruguay bukanlah lautan Atlantik, tapi Rio de la Plata, atau Sungai Perak. Warna airnya memang agak coklat tapi bukan karena kotor, tapi karena airnya membawa endapan tanah dari sungai tersebut.

Pada hari pertama ini kami memutuskan untuk langsung jalan-jalan ke Plaza Mayo. Plaza ini sangat terkenal di Argentina, karena selain merupakan plaza utama yang terletak di depan istana Presiden yang disebut Casa Rosada (karena berwarna merah pink), juga karena plaza ini selalu menjadi tempat demonstrasi orang-orang dari berbagai kalangan. Bahkan ada juga yang disebut Madres de la Plaza de Mayo (atau Ibu-ibu dari Plaza Mayo), yaitu ibu-ibu dari orang-orang yang hilang pada masa kediktatoran militer Argentina yang setiap hari Kamis selalu menggelar demonstrasi di plaza ini sambil memajang foto anak-anak mereka yang hilang di dada mereka. Sekarang ini ibu-ibu itu sudah sangat tua, mungkin usianya sudah 80-an tahun, tapi mereka masih tetap bersemangat melakukan demonstrasi. Hebat ya?

Seperti halnya tata letak alun-alun, di salah satu sisi dari plaza Mayo ini juga ada Cathedral de Buenos Aires, dan di sisi lainnya ada Kantor Gubernur. Dengan tidak sengaja, kami melihat ada antrian panjang di kantor gubernur ini, lalu kita tanyakan ada apa. Tidak tahunya ada pergelaran lagu dan tari tango, musik khas dari Argentina. Waktu oom Andre coba tanyakan berapa harga tiketnya, ternyata gratis! Kami berdua langsung diberi 2 tiket gratis. Pertunjukan ini digelar di Salon Dorado di Casa de la Cultura, atau Ruang Dorado di Gedung Kebudayaan. Mereka memang mempunyai program pertunjukan seni dan budaya di kantor gubernuran ini. Pertunjukannya sangat bagus dan buat bude sangat berkesan, karena hari pertama di Buenos Aires dan kita sudah mendapat kehormatan untuk menyaksikan pertunjukan tango dari musisi dan penari-panari profesional. Hari itu yang bermain piano adalah Miguel A. Barcos, dan penyanyi-penyanyinya Blanca Cassataro dan Susana Saladino. Ada pula pertunjukan tari yang sangat indah, khas tango dari Argentina.

Setelah menonton pertunjukan tango itu kami berjalan kaki, dan 100 meter dari Casa Rosada ada sebuah kafe yang sangat terkenal di sana, namanya Cafe Tortini. Kafe ini sudah ada sejak tahun 1900, dan di kafe ini kita juga bisa melihat ’Museo de Tango’, atau museum tango. Kafe ini tidak pernah sepi pengunjung, selalu penuh, dan orang-orang yang datang bisa dari berbagai kalangan. Yang unik adalah pelayan-pelayannya pakai jas resmi dan pakai dasi kupu-kupu. Makanan yang kita pesan enak dan tidak terlalu lama menunggu.

Karena sudah merasa kenyang, maka kami berdua memutuskan untuk berjalan kaki beberapa blok ke jalan yang terlebar di dunia, yaitu Avenida 9 de Julio. Belum pernah bude melihat jalan selebar ini. Satu arah saja, di jalur cepat paling tidak ada 7 jalur, dan di jalur lambat ada 3 jalur. Selain itu, di tengahnya ada taman yang lebar dan asri. Bude kirim postcard buat mas Adna dan adek Ilham dengan photo jalan ini supaya mas dan adek bisa membayangkan bagaimana lebarnya jalan ini. Di tengah jalan ini, ada yang dinamakan Obelisco, atau Obelisk. Suka baca komik Asterix kan? Nah di cerita itu kan juga ada Obelisk. Obelisco adalah sebuah patung yang berbentuk tinggi dan lancip di atas. Ingat tidak dengan patung pensil di dekat rumah eyang di Bandung? Nah hampir seperti itu, tapi bentuknya kerucut, dan tinggi sekali. Obelisco di Buenos Aires ini adalah sebuah monumen. Setiap supir taksi yang tahu kalau kita datang dari jauh selalu berusaha membawa taksinya melewati monumen ini dan dengan bangganya selalu mengatakan bahwa jalan ini adalah jalan terlebar di dunia.

Esoknya bude Ocie dan oom Andre berjalan kaki ke daerah yang termasuk daerah elit, yaitu Belgrano dan Recoletta. Apartemen-apartemen di areal ini bagus-bagus dan bangunannya berupa bangunan tua tapi sangat terawat. Yang mengherankan adalah sewa apartemen di daerah inipun tidak semahal apartemen yang ada di Jakarta. Kata orang Argentina, sewa apartemen di Buenos Aires berkisar USD 150 – 250 per bulan. Bayangkan bedanya dengan yang di Jakarta yang mungkin paling murah saja sudah USD 1,000!! Sayangnya, untuk masuk ke Argentina, bude harus minta visa, dan untuk kali ini bude juga hanya diberi visa untuk 15 hari saja.

Di Recoletta, kami mengunjungi Buenos Aires Design Center. Toko-tokonya asik-asik dan barang-barang yang ada memang barang-barang dengan desain yang khas, bukan hanya barang mahal hasil impor dari luar negeri seperti yang ada di Jakarta Design Center. Yang jelas, barang-barang yang ada disini harganya terjangkau oleh kalangan menengah bawah di Argentina. Kalau saja kami punya apartemen di sini, maka pasti kami akan beli barang-barang unik yang dijual di sini.

Kami meneruskan berjalan kaki ke Museo Nacional de Bellas Artes (National Museum of Fine Arts). Gratis. Koleksi yang dipajang sangat bernilai tinggi, di antaranya masterpieces dari Rembrandt, Monet, Gauguin, Rodin, dan masih banyak lagi. Di depan salah satu lukisan karya Rembrandt, ada tempat duduk dari beton yang sederhana tapi pas sekali dengan ruang pamernya, jadi kami sempat duduk dan menikmati lukisan karya pelukis besar ini selama beberapa waktu.

Jalan-jalan kami hari itu kami tutup dengan pergi makan malam di San Telmo. San Telmo adalah tempat yang ramai dikunjungi orang untuk salah satunya menonton pertunjukan tango dan pada akhir minggu selalu penuh orang, tapi karena ini hari kerja, maka tidak terlalu ramai. Hari itu tidak ada pertunjukan tango disana, jadi mungkin kami harus kembali lagi di akhir pekan untuk menonton pertunjukan tango. Di San Telmo, bangunan-bangunannya juga sudah tua, dan banyak toko yang menjual barang antik. Oom Andre senang sekali mengunjungi toko barang antik seperti yang ada disana, tapi malam itu kami sudah capai sekali, jadi tidak sempat melihat-lihat. Malam itu kami makan di salah satu restoran disana dan bude pesan pasta dengan seafood. Sewaktu makanan datang ternyata pastanya dimasak terlalu lama jadi tidak ’al-dente’ lagi dan seafoodnya kurang segar sehingga oom Andre komplain ke pelayannya. Langsung mereka minta maaf dan makanan bude dibawa lagi ke dapur dan mereka menawarkan jenis makanan yang lain di menu. Berkali-kali mereka minta maaf dan kami diberikan makanan penutup gratis. Rasanya hal ini belum pernah kejadian di Indonesia. Pernah kami makan bersama kenalan orang Ceko di salah satu kafe di Ratu Plaza dan makanan yang dipesan teman dari Ceko ini rasanya agak basi, tapi walaupun begitu mereka tidak pernah menawarkan kompensasi, apakah itu berupa kopi gratis atau es krim gratis kepada kami. Bude juga ingat waktu makan malam di Hanoi beberapa tahun lalu dan salah satu makanan kami tidak enak, dan pemiliknya yang orang Australia langsung minta maaf dan kami tidak perlu bayar sama sekali seluruh makan malam kami di sana! Hebat kan pelayanan yang diberikan di negara lain?

Hari berikutnya kami bertemu dengan panitia Festival Film Hak-hak Asasi Manusia yang akan diadakan pada bulan Agustus tahun ini di Santiago del Estero di Argentina dan mereka minta kami untuk mengikutsertakan film dokumenter kami ’TERLENA – Breaking of a Nation’. Setelah itu kami memutuskan untuk jalan-jalan ke kebun binatang. Kami berdua memang senang jalan-jalan sambil lihat binatang, jadi kemanapun selalu kami usahakan untuk mengunjungi kebun binatangnya. Di kebun binatang yang luas di Buenos Aires ini ternyata banyak hewan-hewan yang asik-asik. Selain luas, kebun binatang ini juga memberikan tempat/kandang yang luas kepada binatang-binatangnya. Favorit bude Ocie dan oom Andre adalah beruang, badak putih dari Afrika, dan kuda nil. Kami duduk-duduk cukup lama di depan kandang badak putih. Mengagumkan sekali bahwa dalam setengah jam kami duduk disana badak putih itu tidak bergerak sama sekali! Untuk anak-anak, ada banyak pertunjukan khusus untuk pendidikan. Harga tiketnya berbeda kalau mau melihat pertunjukan khusus ini. Sayang bude lupa berapa ya harga tiketnya. Kalau tidak salah, untuk orang dewasa, 6 pesos Argentina (atau sama dengan 2 dolar Amerika).

Belum puas jalan kaki di kebun binatang, oom Andre ngajak jalan terus ke Jardin Japones, atau Taman Jepang. Dengan tiket masuk hanya 3 pesos (sama dengan 1 dolar), kami bisa jalan-jalan di taman yang disumbangkan oleh pemerintah Jepang ini. Desain taman Jepang sangat berbeda dengan desain taman yang lain, mereka banyak menggabungkan unsur tanah dan air, dan selalu ada jembatan-jembatan dengan desain khas Jepang. Sangat menentramkan bisa jalan-jalan di sini.

Tentu saja kami mencoba makanan Jepang yang ada di restoran disana. Kualitasnya bagus dan enak. Mirip dengan yang pernah bude rasakan di Tokyo beberapa tahun lalu.

Oh ya pulang dari Taman Jepang, kami mencoba naik bis kota. Wah, ternyata enak juga, bisa lihat-lihat kotanya dengan lebih leluasa. Akhirnya bis merupakan salah satu angkutan umum yang banyak kami gunakan di Buenos Aires. Murah dan nyaman sekali.

Sekian dulu ya, nanti bude lanjutkan dengan cerita selanjutnya dari Argentina.

Peluk dan cium sayang,

Bude Ocie

Wednesday, March 28, 2007

Perkenalan dengan Peru

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Kali ini bude ingin cerita tentang negara Peru. Peru terletak di bagian Barat dari Amerika Selatan. Di Utara, Peru berbatasan dengan negara Ecuador dan Colombia, di bagian Timur ada Brazil dan Bolivia, dan di Selatan ada Chile. Sementara seluruh bagian Baratnya adalah Lautan Pasifik. Peru luasnya sekitar 1,3 juta km2. Berapa luas Indonesia ya?

Secara geografis, Negara ini terbagi atas 3 bagian:

  • La Costa: daerah pantai yang panjang menghadap lautan Pasifik. Daerah ini sebagian besar adalah gurun (ada yang kering dan semi-kering), tapi sungai-sungai dari pegunungan Andes banyak mengalir langsung ke daerah ini, jadi beberapa bagian subur sekali. Ibukota Peru, Lima, berada di daerah ini.
  • La Sierra: daerah pegunungan Andes. Pegunungan Andes ini tidak hanya ada di Peru, tapi juga di Bolivia, Chile, Ecuador dan Argentina. Beberapa gunung tertinggi di dunia ada di pegunungan Andes yang ada di Peru, yaitu Nevado Huascaran (6768m) dan Yerupaja (6634m). Sebagian besar daerah Peru di tenggara, di sekitar Danau Titicaca, merupakan dataran yang luas, yang disebut puna atau altiplano. Ada pula gunung yang masih aktif, seperti El Misti (5822m) yang terletak di dekat kota Arequipa. Danau Titicaca adalah danau tertinggi di dunia (3812m).
  • La Selva: daerah hutan tropis di Amazon. Hutan yang sangat lebat di bagian Timur pegunungan Andes merupakan bagian dari La Selva juga, dan disebut sebagai montaña atau hutan-awan. Di bagian Timur laut, adalah dataran tropis yang luas dengan 2 sungai Ucayali dan Marañon. Sungai terpanjang di dunia, sungai Amazon, berawal dimana kedua sungai tersebut bertemu.

Peru adalah salah satu negara penting di Amerika Latin, karena tentu saja kebudayaan mereka yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Kerajaan Inca, suku bangsa Indian asli di Amerika, berkuasa di sini sekitar 2500 tahun sebelum Masehi. Katanya mereka berkuasa selama 1500 tahun. Lama banget ya?

Sekarang ini penduduk Peru, 45% dari suku bangsa Quechua dan Aymara (keturunan Inca dan pre-Inca), 42% Mestizos (campuran antara bangsa kulit putih dan Indian), 10% bangsa kulit putih kebanyakan keturunan Spanyol, dan 3% bangsa kulit hitam (dari keturunan budak-budak dari Afrika) dan bangsa Asia (dari Jepang dan Cina yang datang pada awal abad ke-19).

Kalau dilihat, orang Peru mirip lho dengan orang Indonesia. Kalau oom Andre sedang tanya sesuatu, pasti orang Peru berusaha menjelaskannya sama bude Ocie, karena disangka bude orang Peru atau orang dari Amerika Latin. Padahal bude Ocie Cuma mengerti sedikit bahasa Spanyol. Jadi walaupun oom Andre yang fasih, mereka tetap menyangka bude lebih fasih...

Bangsa Quechua kebanyakan tinggal di dataran tinggi Sierra, sedangkan bangsa Aymara di Selva (hutan Amazon) dan sekitar danau Titicaca. Para Mestizos ada dimana-mana, tapi terutama di kota-kota besar dan di daerah pantai.

Danau Titicaca adalah danau terbesar yang letaknya paling tinggi di dunia, yaitu 3.856 meter di atas permukaan laut. Tinggi sekali ya! Kota Bandung saja hanya 700 meter di atas permukaan laut. Danau ini berada di perbatasan Peru dan Bolivia. Jadi kita bisa pergi menyeberang danau ini ke Bolivia. Pasti seru ya melewati perbatasan lewat danau. Bude Ocie dan oom Andre pernah melewati perbatasan yang di laut, yaitu diantara kota Copenhagen di Denmark dan kota Malmo di Swedia, dan kita nyebrangnya pake kereta api lho. Jembatan ini sangat unik, karena sebagian berada di atas laut dan sebagian di bawah laut, jadi kelihatannya kereta api kita meluncur tenggelam kedalam laut. Seru kan?

Kota Lima adalah ibukota Peru. Kota yang unik, dan dianggap sebagai salah satu World Heritage Site oleh Unesco. Bagian kota yang dianggap sebagai heritage adalah mulai dari Plaza de Armas sampai dengan Plaza San Martin. Bangunan-bangunan di sana sudah sangat tua dan bergaya colonial-baroque, dan sekarang mereka mulai melakukan renovasi yang biayanya pasti sangat mahal tapi hasilnya bagian kota yang sangat indah. Yang namanya Plaza de Armas dan Plaza San Martin adalah taman-taman di tengah kota yang indah dilengkapi dengan tempat duduk-duduk dimana kita bisa istirahat atau hanya menikmati keindahan gedung-gedung di sekitar plaza tersebut. Plaza disini bukan mall lho! Mungkin seperti alun-alun, tapi alun-alun mana yang indah di Indonesia ya?

Yang paling bude senangi adalah gedung dengan balkon-balkon tua yang sangat khas. Balkon-balkon ini sangat terkenal dan memang sangat indah. Jarang sekali bisa kita lihat bangunan dengan balkon seperti ini. Balkonnya terbuat dari kayu, dan yang sangat indah kalau berwarna hitam.

Kota Lima juga unik karena di dalam kotanya kita bisa mengunjungi piramid yang sudah berusia ribuan tahun. Ada 2 tempat yang bisa kita kunjungi, yaitu: Huaca Pucllana (pre-Columbian tomb) di Miraflores, dan Huaca Huallamarca (a restored pre-Inca pyramid) di San Isidro. Kedua piramid ini berada di tengah bagian kota yang mewah, jadi aneh rasanya kalau kita berada di sana dan bisa lihat piramid yang asalnya dari ribuan tahun yang lalu.

Selain itu, di Lima juga ada sebuah museum yang wajib kita kunjungi kalau kita mau mempelajari asal muasal Amerika Latin, terutama negara Peru, namanya Museo de la Nacion (atau Museum Nasional). Museum ini adalah yang ke-2 terbesar di dunia (Yang terbesar adalah museum nasional di Mexico). Museum ini terletak di sebuah bangunan yang kalau dari luar kelihatan cukup menakjubkan. Bangunan beton bertingkat 9 yang sangat kokoh. Selain menggelar koleksi-koleksi bersejarah lengkap dengan penjelasan dan penampilan yang sangat menarik, museum ini juga mempunyai beberapa ruangan yang dijadikan tempat konser, pertunjukan dan juga pameran. Tentu ada juga toko yang menjual barang-barang kerajinan dari sana dan restoran. Bude Ocie dan oom Andre sempat menonton pertunjukan ballet ”Don Quijote” yang dimainkan oleh Ballet Nacional de Peru. Cerita Don Quijote berasal dari Spanyol, dan sangat terkenal di seluruh dunia. Nanti minta ayah atau bunda cerita tentang Don Quijote ya...

Museum lain yang juga sangat menarik untuk dikunjungi adalah Museum Larco (nama lengkapnya Museo Arquelogico Rafael Larco Herrera). Museum ini dibangun di atas sebuah piramid dari jaman sebelum Columbia di abad ke-7, dan museum ini menempati sebuah mansion yang dibangun di abad ke-18. Boleh dikatakan museum ini menggelar koleksi yang sangat menakjubkan. Mereka menyusun koleksi-koleksinya dengan sangat menarik dan kronologis dengan dari masa pra-sejarah Peru kuno selama 3.000 tahun. Mereka juga punya koleksi yang belum boleh dikunjungi oleh anak-anak, nanti kalau sudah dewasa baru boleh lihat ya...

Masih banyak museum lain yang ada di kota Lima ini, tapi bude dan oom tidak punya banyak waktu untuk mengunjungi semuanya. Ke-2 museum yang bude ceritakan di atas adalah yang sangat penting untuk dikunjungi karena kita betul-betul bisa belajar banyak tentang sejarah Peru. Ada satu museum yang selalu dikunjungi turis yaitu Museo de Oro, artinya Museum Emas, yang isinya adalah koleksi emas-emas dari jaman dahulu kala. Tapi kata oom Andre, lebih baik belajar dari kedua museum terdahulu yang lebih banyak menjelaskan sejarah Peru. Di museum-museum tersebut, penampilan koleksinya sangat menarik dan sangat informatif. Rasanya betah memperhatikan satu persatu koleksi dan penggambaran sejarahnya. Mungkin kurator museum di Indonesia harus banyak belajar soal hal ini ya supaya museum di Indonesia juga menarik, bersih, dan informatif.

Kota Lima sekarang sudah lebih rapi dan bersih. Pedagang kaki lima sudah tidak ada lagi, yang ada adalah mereka yang menyewa tempat langsung ke pemerintah daerahnya dan menggunakan gerobak yang sama dan dengan cat yang sama. Kota Lima tidak semrawut lagi seperti dulu, tapi karena transportasi publiknya hanya dengan bis dan taksi, maka agak kurang nyaman untuk pergi kesana-sini, kecuali bisa berbahasa Spanyol. Taksi di sini jarang yang pake meter, kita harus tawar menawar dulu sebelum naik taksi. Bagaimana kalau nggak bisa bahasa Spanyol ya?

Kota Lima mempunyai jalan yang lebar-lebar dan banyak yang juga mempunyai taman yang lebar ditengah jalannya. Jalan yang begini yang disebut Boulevard. Kita bisa katakan Jalan Thamrin dan Sudirman di Jakarta sebuah boulevard, juga Jalan Supratman di Bandung, karena ada taman ditengah jalannya. Tapi dikebanyakan ibukota di Amerika Latin, taman yang membatasi kedua jalan ini sangat lebar-lebar. Rata-rata mereka masing-masing mempunyai 3 jalur mobil dan mungkin sekitar 10 meter taman. Jadi kelihatannya bagus sekali dan taman ini selalu dihiasi dengan pepohonan yang rindang, hijau dan subur. Selain itu, kota Lima juga mempunyai tempat pejalan kaki yang lebar, sehingga orang senang berjalan kaki di sana.

Tapi ternyata Peru tidak lengkap kalau kita tidak pergi beberapa km ke luar kota Lima. Kami berdua pergi ke kota di pinggiran kota Lima yang bernama Mi Peru. Kota ini asalnya dibangun oleh para pendatang ilegal yang mendirikan rumah kardus atau rumah seng di gurun di luar kota Lima. Tapi sekarang mereka sudah resmi mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah yang mereka tempati itu dari pemerintah. Jadi sekarang kalau mereka mau pinjam uang ke Bank untuk modal usaha, mereka dapat memakai sertifikat rumah ini untuk jaminannya. Adek Ilham dan mas Adna kan pernah ke Bank Syariah ya, diterangkan tidak bagaimana kalau mau pinjam uang ke Bank? Kalau belum tahu, nanti tanya sama Bunda ya...

Kalau kita bicara tentang Peru, banyak sekali tempat-tempat yang seharusnya kita kunjungi, diantaranya:

  • Arequipa : Arequipa disebut juga ’kota putih’, berpenduduk 621 ribu orang, terletak di tengah dataran Andes yang subur dan dikelilingi oleh gunung-gunung yang spektakular, salah satunya El Misti (5822m) yang ujungnya selalu ditutupi salju. Kota ini pernah kena gempa bumi yang besar di bulan Juni 2001, sehingga penduduknya tidak membuat bangunan yang tinggi. Tapi hal ini malah membuat kota ini sangat indah, dan kita bisa melihat El Misti di kejauhan dan juga Hutan lindung Salinas (Reserva Nacional Salinas). Kota ini adalah salah satu Unesco World Heritage Sites.
  • Ayacucho: Kota ini berpenduduk 100 ribu dan merupakan kota tua yang terkenal karena mempunyai 33 gereja. Selalu ada gereja di setiap sudut kotanya! Kota ini terletak di tengah-tengah pegunungan Andes yang berada di Peru. Kota ini indah tapi cukup terpencil, karenanya masih kurang dikenal.
  • Cajamarca: Kota ini merupakan salah satu yang paling menarik di pegunungan Andes. Terletak di ketinggian 2650m, berpenduduk hanya 70 ribu. Suasananya kolonial tapi sangat relaks. Karena kota ini juga cukup terpencil di bagian Utara Sierra, maka bukan merupakan tempat yang sering dikunjungi turis, walaupun sebetulnya kota ini banyak mempunyai tempat-tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Tidak jauh dari kota ini ada Baños del Inca, suatu tempat pemandian air panas alami yang dibangun oleh bangsa Inca. Ceritanya penguasa Inca jaman itu yang bernama Atahualpa sedang mandi di tempat pemandian air panas ini ketika Pizarro, penjajah dari Spanyol datang ke area ini. Tidak jauh dari kota ini juga ada sebuah situs besar dari jaman pre-Inca yang disebut Ventanillas de Otuzco. Situs ini adalah sebuah tempat pemakaman yang terletak di bukit yang berbentuk ratusan gua yang diukir kedalam bebatuan bukitnya. Mungkin kalau pernah ke Sulawesi, ada juga tempat pemakaman yang mirip.
  • Cuzco: Cuzco adalah ibukota arkeologis dari benua Amerika dan merupakan kota tertua yang masih terus dihuni. Dahulu Cuzco juga merupakan ibukota kerajaan Inca (walaupun dulunya disebut Qosqo). Di kota ini kita bisa melihat dinding-dinding batu tebal yang dibangun oleh bangsa Inca. Dinding-dinding ini berada di sebagian besar jalan-jalan utamanya dan juga merupakan fondasi dari bangunan-bangunan kolonial maupun modern. Konon karena arsitektur bangsa Inca sangat sulit untuk dihancurkan, maka penjajah bangsa Spanyol membangun di atas bangunan-bangunan Inca dan merampok semua emas-emas yang ada. Sekarang ini Cuzco berpenduduk 250 ribu orang. Kota ini terletak di ketinggian 3326m dan terletak di Selatan lembah yang sangat indah Valle Sagrado, lembah suci bangsa Inca. Di dekat Cuzco, ada sebuah situs Inca (mungkin juga situs religius) yang dinamakan Sacsayhuáman yang artinya sarang burung elang. Situs ini merupakan situs terpenting dan terindah dari arsitektur Inca. Bangunan-bangunan lain terbuat dari bebatuan masif, dan sebagian batu tersebut besarnya sebesar kapal terbang! Bagaimana bangsa Inca membangun kota ini di ketinggian seperti ini tentunya akan tetap merupakan misteri. Konon diperkirakan untuk mengangkat bebatuan itu saya mungkin diperlukan paling tidak 20 ribu orang.
  • Machu Picchu: Machu Picchu terletak di sebelah Utara kota Cuzco dan terletak di pegunungan yang hampir tidak terjangkau dan sangat terpencil. Kota ini adalah sebuah kota Inca kuno yang baru diketemukan pada tahun 1911. Machu Picchu artinya puncak yang kuno dalam bahasa orang lokal sana. Machu Picchu adalah salah satu tempat kunjungan turis di dunia, dan orang dari berbagai penjuru dunia datang mengunjungi puing-puing kota yang terletak di ketinggian 2400m. Kota kuno ini dikelilingi oleh gunung-gunung yang hijau dengan hutan-hutannya yang lebat. Pemandangan paling indah di kota ini adalah pada saat matahari terbit, ketika puing-puing kota dan gunung-gunung yang mengelilinginya tertutup oleh kabut yang sangat tebal.
  • Nazca: Nazca terletak di pinggir sungai Nazca, dan merupakan kota kecil di gurun yang hanya berpenduduk 50 ribu. Lembah yang kering ini mendapatkan irigasi dari sistem irigasi yang berasal dari jaman pra-Inca. Kebanyakan orang mengenal kota ini karena adanya Nazca Lines (atau Garis-garis Nazca) yang sangat terkenal itu. Sebelum tahun 1939, kota ini hanyalah sebuah kota kecil yang terletak di gurun yang paling kering di dunia. Tapi ternyata gurun ini merupakan sketch-pad (tempat corat-coret/sketsa)nya orang Indian kuno dan merupakan misteri keilmuan terbesar di dunia ini. Sketsa-sketsa yang ada di Nazca Lines yang merupakan serial gambar binatang, bentuk-bentuk geometrik dan burung-burung, besarnya sampai 200 meter, diukir ke dalam bebatuan gurun yang sangat kering dan terjaga selama hampir 2000 tahun. Mungkin hal ini bisa terjadi karena jarangnya turun hujan di daerah ini dan juga adanya angin khusus yang membersihkan tapi tidak menghapus gurun ini. Hebat ya!

Jadi ceritanya, pada tahun 1939, seorang ilmuwan Amerika bernama Paul Kosok terbang di atas gurun ini dengan pesawat kecil dan dia melihat garis-garis yang ada di gurun yang memang kurang terlihat kalau dilihat dari darat. Awalnya dia berpikir bahwa ini pastilah bagian dari sistem irigasi pra-Inca, tapi langsung dia menyimpulkan bahwa ini bukan bagian dari irigasi. Kosok menemukan garis-garis dari mathari terbenam berada sejajar dengan arah dari gambar-gambar burung. Dia melihat bahwa Nazca Lines sebagai sebuah buku astronomi terbesar di dunia.

Tidak lama setelah penemuan Kosok ini, seorang ahli matematika Jerman bernama Maria Reiche (yang berusia 35 tahun), mulai mempelajari tentang garis-garis dan gambar-gambar tersebut. Hampir selama 50 tahun dia melakukan penelitian tentang hal ini. Kebanyakan ilmuwan menyatakan bahwa pastilah sulit untuk membuat garis-garis yang hanya terlihat jelas dari udara, dan mereka beranggapan pastilah ada hubungannya dengan sistem navigasi orang luar angkasa dan dibuat oleh orang dari planet lain. Tapi Maria Reiche tidak setuju dengan hal ini. Maria Reiche meninggal pada usia 95 di tahun 1998.

Setelah yang serius-serius, bude ingin ceritakan tentang musik yang ada di Peru. Ada 2 jenis musik tradisional Peru, yaitu folklórico dan criollo. Seperti juga di berbagai belahan Amerika Latin, musik di sini tidak bisa dilepaskan dari tariannya, jadi selalu ada bersama-sama. Musik folklórico terkenal dengan dimainkannya pan-flutes. Musik ini juga bisa kita dengar di berbagai belahan pegunungan Andes. Walaupun berasal dari jaman pra-kolonial, tapi sekarang mereka sudah menggunakan alat-alat musik lain seperti gitar dan charango (asalnya dari Spanyol tapi sudah dimodifikasi oleh orang dari Andes). Akhir-akhir ini bahkan sudah dilengkapi dengan harpa, biola dan berbagai alat musik tiup. Contoh paling terkenal adalah lagu El Condor Pasa yang dinyanyikan oleh Paul Simon.

Musik Criollo umum dimainkan di seluruh daerah pantai di Peru. Dalam musik ini termasuk berbagai gaya musik, termasuk valse, Afro-Peru dan marinera. Yang paling populer di Peru adalah valse, atau waltz. Valses adalah lagu-lagu tentang kehidupan, cinta, kesenangan dan kesedihan. Asalnya dari musik waltz dari Wina, tapi lebih vokal dan sangat berbeda dari musik yang ada di Eropa. Musik Afro-Peru diperkenalkan oleh budak-budak negro dan diperkaya oleh elemen-elemen kolonial, dan menghasilkan gaya musik Peru yang khas dan unik. Musik marinera sebetulnya adalah tarian yang menggunakan musik. Musik lain yang juga populer di Peru adalah musik salsa. Musik salsa berasal dari Cuba, tapi sangat terkenal di Amerika Latin, termasuk Peru. Selain itu, merengue dan cumbia juga merupakan musik yang popular disana.

Itulah sedikit cerita perkenalan bude Ocie dengan Peru? Mudah-mudahan mas Adna dan adek Ilham bisa belajar sedikit tentang negara Peru ya, dan nanti kalau sudah besar bisa pergi kesana dan mengunjungi tempat-tempat yang bude ceritakan.

Salam sayang,

Bude Ocie




Cerita tentang orang Mapuche

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Di surat-surat sebelumnya bude Ocie sudah cerita tentang kota Santiago dan Valparaiso di Chile. Sekarang bude ingin cerita tentang perjalanan bude Ocie dan oom Andre ke daerah orang asli di Chile, yaitu orang Mapuche. Penduduk asli di Amerika Latin ini ada beberapa, di Chile mereka dari suku bangsa Mapuche, di Peru mereka dari suku bangsa Quechua dan Aymara, sedangkan di Argentina dan Uruguay, mereka dari suku bangsa Quechua dan Guarani.

Kami sewa mobil untuk pergi ke tempat tinggal orang Mapuche di Chile. Hari pertama kami berangkat ke Temuco, 674 km dari Santiago. Cukup jauh juga ya, lebih jauh kalau kita naik mobil dari Jakarta ke Sragen, misalnya. Tapi karena di sini jalan tol Pan America yang menghubungkan negara-negara di Amerika Latin ini sangat mulus, maka kami bisa sampai di Temuco dalam waktu kurang dari 7 jam. Itupun sudah termasuk berhenti beberapa kali untuk isi bensin, makan siang, dan lihat-lihat kota yang dilewati. Pada perjalanan ini kami makan siang di sebuah rumah tua yang diubah jadi hotel bagus sekali dan punya rumah makan yang mewah. Walaupun kelihatannya mewah, ternyata harganya masih jauh lebih murah daripada makan di hotel bintang lima di Jakarta. Seringnya sih kalau sedang jalan-jalan naik mobil, kita beli roti saja di pom bensin. Pom bensin di sini asik deh, lengkap dengan restoran, kamar mandi yang bersih yang kadang bisa juga lengkap dengan tempat mandi, dan supermarket kecil yang lengkap. Kita bisa makan sederhana yang cepat ataupun dengan menu betulan yang agak lama. Tapi seringnya kami isi bensin sambil ngopi, karena kan bude Ocie dan oom Andre harus gantian nyopirnya.

Besoknya kami langsung pergi ke daerah yang paling miskin di Chile, namanya Puerto Saavedra. Dulu daerah ini pernah kena tsunami, dan sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangunan yang dulu terkena tsunami. Di Puerto Saavedra ini tinggal bangsa asli Mapuche. Sekarang pemerintah Chile membuat kompleks perumahan baru untuk tempat tinggal mereka. Tapi lucunya, walaupun mereka diberi rumah baru, mereka tetap membawa barang-barang yang dulu ada di rumah mereka yang lama. Mereka masih menyimpan barang-barang yang sebetulnya rongsokan, seperti seng-seng yang sudah karatan, atau barang lain yang sebetulnya tidak cocok untuk rumah baru mereka. Jadi walaupun sudah diberi pagar yang bagus, mereka tetap menempelkan seng karatan untuk bahan pagar mereka, kan jadinya kelihatan kumuh lagi. Kenapa begitu ya?

Karena bude Ocie dan oom Andre datang kesana pada musim dingin, maka kebanyakan rumah makan tutup. Hanya ada satu rumah makan yang buka dan kelihatannya ramai, maka kami berdua masuk kedalamnya. Ternyata, banyak sekali orang Mapuche yang sedang ada di sana. Mereka sedang mempersiapkan acara adat di sana. Banyak sekali makanan khas mereka di atas meja dan beberapa orang sedang berdandan memakai pakaian khas Mapuche. Beruntung sekali bude bisa lihat mereka dari dekat, karena jarang lho bisa lihat acara adat mereka. Jadinya sambil menunggu makan siang yang tentu saja lain daripada yang mereka siapkan, kami berdua bisa melihat bagaimana persiapan acara adat mereka.

Setelah dari Puerto Saavedra, kami langsung berangkat ke kota Pucon, dengan melewati kota Villarica. Villarica dan Pucon berada di pinggir danau Villarica. Kedua kota ini terkenal sebagai kota resort, dan sangat disukai oleh penduduk Chile. Kalau hari Sabtu dan Minggu, orang dari Santiago banyak berdatangan kesini. Banyak sekali penginapan dan hotel di pinggri danau di sini. Pemandangannya indah sekali. Kami berdua juga menginap di salah satu penginapan di sini, karena sebetulnya kami akan menginap di rumah temannya oom Andre di Curraruehue (bacanya Kurarewe), tapi pas kita mau berangkat, alat pemanas di rumah mereka meledak, jadi tidak ada pemanas, padahal di atas gunung kan dingin sekali, jadi kami berdua tidak jadi deh tinggal di rumah mereka. Bayangkan kalau harus mandi pake air yang sedingin es. Terus bagaimana bisa tidur ya kalau tidak ada pemanas? Mereka sih punya perapian dengan kayu, jadi mungkin untuk tidur sih tidak masalah, tapi brrrrrr kebayang dinginnya kalau harus mandi pagi.....

Keesokan harinya, oom Txus dan tante Anna Lu, teman oom Andre dari Spanyol yang bude ceritakan sebelumnya, bersama kami pergi ke gunung dan ke perbatasan antara negara Chile dan Argentina. Pada perbatasan Chile, kami tanyakan apakah bisa ke Argentina atau tidak, dan mereka bilang sih bisa saja kalau mau tapi harus tinggalkan mobil sewaan di perbatasan. Tapi kalau mau lihat-lihat saja sih boleh. Akhirnya kami berempat pergi ke perbatasan dan menyeberang ke Argentina. Lucunya, jarak antara petugas perbatasan Chile dan Argentina jauh sekali, jadi kami bisa ke Argentina tanpa harus diperiksa paspornya dan dicap. Kebayang tidak sebuah perbatasan negara di gunung yang sedang ditutupi salju? Sepi dan kita bisa seenaknya nyebrang ke negara lain... Di perbatasan itu ada sebuah taksi. Supirnya menunggu dibawah pohon, dan kalau kita lihat dari jauh, seperti seorang penjahat di film-film yang sedang nunggu mangsanya... hehehe... Ternyata supir itu sedang nunggu penumpang yang akan dibawa oleh taksi lain dari Argentina. Lucu ya, bisa tuker taksi disana. Tapi kalau dipikir, jauh juga itu supir taksi ngambil penumpang! Perbatasan ini jaraknya sekitar 20 km dari kota terdekat dan melewati gunung bersalju.

Di pegunungan ini banyak terdapat pohon yang menjadi lambang orang Mapuche, yaitu pohon Araucania. Daunnya tidak gugur pada musim gugur, jadi walaupun musim dingin, hutan dengan pepohonan Araucania masih terlihat hijau. Katanya sih pohon ini bawa sial kalau ditebang, makanya di tengah jalan bisa ada pohon ini dan jalannya memutari pohon ini.

Setelah dari sana, kita jalan melewati perkampungan orang Mapuche. Kita tidak pergi ke puncak gunung tempat tinggal mereka yang asli karena harus naik mobil yang khusus untuk naik gunung. Tapi kita melewati perkampungan mereka di Curraruehue, dan di sana kita bisa lihat bagaimana mereka hidup. Sayangnya pendidikan mereka kurang memadai, sehingga banyak yang hanya jadi pegawai rendahan saja, sehingga tentu saja tidak bisa membiayai hidup mereka dan keluarganya. Banyak anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya begitu saja, dan anak-anak inilah yang sekarang tinggal di rumah yatim piatu dekat tempat tinggal Tante Anna Lu dan Oom Txus. Rumah yatim piatu ini terdiri dari bangunan tempat tinggal yang punya 2 lantai, bangunan sekolah, bangunan tempat makan dan bermain serta lapangan bermain dan lapangan olah raga. Lengkap ya? Kompleks rumah yatim piatu ini adalah sumbangan dari pemerintah Basque di Spanyol. Bude Ocie dan oom Andre diajak oleh tante Anna Lu dan oom Txus untuk lihat-lihat ke rumah yatim piatu itu. Dari luar bisa kita bilang bahwa mereka itu dalam bangunan yang bagus, dan memang di dalamnya juga, tapi kalau lihat anak-anak yang ada disana, rasanya sedih gitu. Di salah satu ruangan tempat mereka bermain, ada seorang ibu muda yang bermain bersama salah satu anak disana. Ternyata ibu muda itu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh rumah yatim piatu itu karena dia tidak sanggup untuk merawatnya sendiri. Kasihan ya? Kami juga lewat di tempat mereka menyimpan sepeda-sepeda, wah masih bagus-bagus, dan pasti anak-anak itu senang main sepeda seperti mas Adna dan adek Ilham kalau cuacanya sedang tidak musim dingin. Yang unik adalah bangunan dimana mereka makan dan berkumpul dan bermain. Bentuknya seperti payung, terbuat dari kayu, dan katanya ini adalah arsitektur bangsa Mapuche.

Bangsa Mapuche adalah satu dari 3 suku bangsa Indian yang termasuk kelompok bahasa Araucanian yang survive dan tinggal di daerah yang sekarang disebut Chile dan Argentina sebelum bangsa Inca dan Spanyol datang. Mereka mengklaim bahwa bangsa mereka tidak pernah dikalahkan oleh bangsa Spanyol maupun Inca. Bangsa Mapuche, yang namanya berarti ’orang bumi’, kelihatan seperti orang Mongolia/Cina, sehingga sangat berbeda dengan orang Chile yang berasal dari Eropa.

Kebanyakan orang Mapuche tinggal di bagian Tengah Selatan Chile, di Propinsi ke-8, ke-9 dan ke-10, tapi yang terbanyak adalah di propinsi ke-9. Tanah yang mengelilingi mereka terkenal karena lembah-lembahnya yang subur dan sangat indah dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Namun sekarang ini sudah banyak orang Mapuche yang pindah ke kota-kota besar di Chile.

Mas Adna dan adek Ilham tahu tidak kalau bentuk negara Chile itu seperti cacing, panjang tapi sempit. Lebarnya hanya sekitar 161 km, tapi panjangnya mencapai 4.265 km. Jadi panjang negaranya mencapai 25 kali lebarnya. Lucu ya? Dan yang lebih unik lagi, sepanjang bagian Baratnya adalah lautan Pasifik, dan di bagian Timurnya adalah pegunungan Andes. Negara ini terletak di area yang sering dilanda gempa, dan juga pernah dilanda tsunami, seperti yang bude ceritakan di cerita sebelumnya. Nah di tahun 1818 ketika Chile membebaskan diri dari Spanyol, bangsa Mapuche diberi areal khusus yang disebut La Frontera. Tapi bangsa Mapuche baru mengakuinya di tahun 1881, karena terdesak dan mereka harus mengakui sebagai bagian dari bangsa Chile dan sekarang diberikan tempat tinggal khusus.

Biasanya rumah tradisional bangsa Mapuche sangat sederhana, dengan atap rumbia dan lantai tanah. Namun sekarang sudah banyak dari mereka yang tinggal di perumahan yang disubsidi oleh pemerintah, jadi sudah lebih modern tapi masih sederhana, dengan lantai kayu dan atap seng. Walaupun demikian, kebersihan dan kesehatan di perumahan mereka masih buruk, tapi sudah jauh lebih baik sekarang ini.

Bangsa Mapuche pada dasarnya adalah petani tradisional. Mereka yang tinggal di gunung biasanya bertani, sedangkan yang tinggal di pantai biasanya nelayan. Banyak wanita Mapuche yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota-kota. Anak muda biasanya meneruskan pindah ke kota-kota untuk mencari kesempatan bekerja yang lebih baik, karena sekarang ini semakin sedikit tanah yang bisa mereka kerjakan di tempat reservasi mereka.

Bangsa Mapuche sangat pandai dalam membuat karya-karya seni. Mereka mahir membuat hiasan-hiasan rambut, baju dan lain-lain untuk dipakai oleh wanita Mapuche. Tekstil mereka merupakan campuran warna yang indah, dengan desain yang mereka pinjam dari bangsa Inca, yang didominasi kotak-kotak, bentuk anak tangga dan garis-garis zigzag. Ada juga yang mahir dalam menganyam karpet dan membuat pot-pot keramik.

Musik tradisional bangsa Mapuche adalah musik folklore. Musik ini sangat dipengaruhi oleh nenek moyang mereka, begitu juga karya sastra mereka. Jadi musik mereka disebut ’rhapsodi Araucanian’ dan sajak mereka disebut ’sajak Araucanian’. Dalam hal musik, tidak pernah ada kelompok yang bernyanyi bersama. Mereka selalu menyanyi solo dan selalu ada improvisasi. Alat musiknya terbatas pada trutruka (terbuat dari bambu dan cula sapi), pifüllka (sebuah flute kayu dengan dua nada), kultrun (drum kecil berbentuk mangkok) dan trompe (atau harpa Yahudi).

Menarik kan cerita tentang tanah Mapuche ini? Tapi sayang mereka sekarang masih menjadi bangsa kelas-2 di Chile. Mudah-mudahan dengan banyaknya anak muda yang tinggal di kota-kota hal ini bisa diatasi dan mereka bisa sama derajatnya dengan bangsa Chile yang lain.

Sampai jumpa di cerita berikutnya ya...

Salam sayang,

Bude Ocie