Monday, March 26, 2007

Surat dari Santiago de Chile

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Hallo, apa kabar mas Adna dan adek Ilham di Jakarta? Bude Ocie dan oom Andre sekarang sudah di kota Santiago di Chile. Bude Ocie harus terbang selama 30 jam dari Jakarta ke Santiago!!! Bude harus terbang ke Singapura, terus ke Frankfurt di Jerman, dan terus ke Sao Paulo di Brazil, baru ke Santiago di Chile. Kalau oom Andre, waktu itu tidak langsung terbang dari Jakarta, tapi dari Stuttgart di Jerman setelah menengok ibunya, jadi bude dan oom ketemu di Frankfurt sebelum sama-sama ke Santiago. Kebayang kan capainya, padahal kami berdua naik pesawat di kelas bisnis. Tidak terbayang kalo harus naik di kelas ekonomi. Pasti remuk redam deh. Kami masih bisa tidur dengan posisi terlentang, jadi tidak terlalu sakit di badan. Di Singapura dan di Frankfurt, bude harus ganti pesawat, jadi sempat jalan-jalan sedikit di airportnya, tapi di Sao Paulo kita tidak boleh keluar dari pesawat, harus tunggu selama kurang lebih 1 jam di dalam pesawat sementara mereka isi bahan bakar dan mengangkut penumpang dari Sao Paulo yang mau terbang ke Santiago.

Santiago adalah ibukota negara Chile yang merupakan kota ke-5 terbesar di Amerika Selatan. Santiago terletak di lembah luas yang datar tapi dengan latar belakang pegunungan Andes di Utara kotanya. Gunung-gunung itu hampir sepanjang tahun ditutupi salju dan letaknya hanya 100 km dari Santiago. Gunung Aconcagua yang merupakan gunung tertinggi dengan ketinggian 6,964 m di Pegunungan Andes terletak di Chile. Pemandangannya mungkin seperti kalau kita di rumah eyang di Bandung melihat ke gunung Tangkuban Perahu, tapi di sini gunungnya berbaris dan bagian atasnya tertutup salju. Indah sekali deh. Kota Santiago dibelah oleh Sungai Mapocho, yang di tengah kota melalui kanal buatan dengan lebar sampai 40 meter. Sekarang ini, Santiago punya jalan tol di samping sungai ini sehingga kalau mau masuk atau keluar kota ini bisa sangat mudah walaupun harus bayar. Pada saat pembangunan jalan tol ini mereka harus mengeringkan dulu sungainya selama beberapa tahun. Tapi dengan cara ini mereka punya jalan tol yang terletak di bawah tanah, sehingga tidak mengganggu pemandangan kotanya. Hebat ya, bude juga belum tahu bagaimana proses mereka membuatnya. Sekarang ini sungainya sudah dilewati air yang jernih lagi dari pegunungan Andes dan bersanding dengan jalan tol dalam kota.

Santiago kota yang indah lho, tidak terbayang sama sekali sebelumnya kalau kota ini justru lebih menarik daripada kota-kota di Eropa. Bude sangat senang dengan penataan kotanya dan juga bentuk-bentuk bangunannya. Menurut teman oom Andre yang arsitek di Santiago, bangunan-bangunan yang ada di kota ini sangat khas Amerika Latin dan dibangun dengan mempertimbangkan bahwa negaranya sering dilanda gempa. Hanya 2 hari sebelum kami sampai di Chile, ada gempa bumi dengan kekuatan 7,9 skala Richter di Iquique, yang letaknya di Chile bagian Utara. Walaupun secara keseluruhan banyak bangunan yang rusak, tapi bangunan modernnya tidak banyak yang rusak.

Kota Santiago bersih sekali dan hampir di seluruh penjuru kota punya tempat pejalan kaki, bahkan di pusat kota tempat pejalan kaki ini sangat lebar-lebar. Kalau menurut bude, hal ini juga yang membedakannya dengan kota-kota di Eropa. Gedung-gedung yang didesain untuk tahan gempa kebanyakan berbentuk lebih kecil di atas, hampir seperti piramid di atasnya, dan hal ini membuat kotanya jadi sangat menarik untuk dilihat. Tidak membosankan sama sekali. Rasanya bude ingin sekali memotret semua gedungnya dan nanti perlihatkan ke Adna dan Ilham di Jakarta.

Hari pertama datang di Santiago, walaupun capai tapi kami langsung jalan-jalan naik metro ke Plaza de Armas. Udara saat itu sangat tidak menyenangkan, dingin dan hujan rintik-rintik. Untung bude bawa overcoat yang ada topinya, tapi kita lupa bawa payung, jadinya oom Andre cukup basah deh. Plaza de Armas adalah jantung kota Santiago; boleh dibilang sebagai alun-alun kota deh. Di bagian Timur dan Selatannya dipenuhi dengan toko-toko, di Utara ada Kantor Pos dan Kantor Walikota, dan di bagian Barat ada Katedral dan Istana Archbishop. Mungkin penataan ini mirip dengan penataan di alun-alun kota di Indonesia ya. Contohnya di Bandung, di Timur ada pertokoan, di Utara ada Kantor Pos dan kantor-kantor lain, di Selatan ada kalau tidak salah kantor pemerintahan, hanya yang membedakan di Bandung ada Mesjid Agung dan bukan Katedral. Namun demikian, yang paling membedakan Plaza de Armas dengan alun-alun Bandung adalah besarnya dan kebersihannya. Di sini tidak ada orang yang berjualan sembarangan. Kita bisa duduk-duduk menikmati keindahan air mancur, hijaunya taman ataupun hanya untuk memperhatikan orang-orang yang lalu lalang disana. Di Santiago, kita bisa bertemu dengan orang dari berbagai bangsa. Kebanyakan sangat memperhatikan penampilan mereka. Dalam musim dingin seperti sekarang ini, hampir semua mengenakan overcoat yang stylish dengan warna standar kalau tidak hitam, abu-abu tua, atau krem. Mereka juga mengenakan sepatu boot yang keren-keren berwarna-warni. Di plaza ini juga kita bisa melihat banyak orang lanjut usia yang asik bercengkerama. Bude jadi ingat kedua eyangmu di Bandung yang tidak punya kesempatan seperti mereka disini. Sayang sekali ya, padahal kalau saja alun-alun Bandung bisa seperti itu kan eyang kakung bisa latihan jalan disana dan eyang putri bisa mengagumi taman-tamannya.

Masih di Plaza de Armas ini, kita juga bisa mengunjungi Museo Historico Nacional atau Museum Sejarah Nasional yang isinya penjelasan sejarah Chile sejak jaman pendudukan sampai tahun 1925. Tidak jauh dari Plaza de Armas, kita juga bisa melihat Casa Colorada yang dibangun pada tahun 1769 yang dulu menjadi tempat tinggal Gubernur pada jaman kolonial dan sekarang menjadi Museo de Santiago atau Museum Santiago. Seluruh area di sekitar Plaza de Armas ini khusus untuk pejalan kaki saja, mobil tidak dibolehkan masuk ke area ini. Untuk mas Adna dan adek Ilham yang suka jalan-jalan ke Museum, pasti senang deh kalau berkunjung ke Santiago, karena banyak sekali museum di kota ini dan koleksi-koleksinya juga bagus-bagus.

Hari berikutnya bude dan oom Andre jalan-jalan ke bagian kota lama Santiago. Tidak banyak turis yang mengunjungi bagian kota ini, tapi karena oom Andre dulu pernah tinggal di sini, maka bude diajak menyusuri jalan-jalan kota lama yang tidak terlalu ramai. Di sini ada Plaza Brasil dengan Basilica del Salvador hanya 2 blok dari sana, dan tidak jauh dari sana ada Avenida Matucana dengan Estacion Central di ujungnya. Bagian kota ini dulunya paling miskin, tapi oleh pemerintahan sekarang malah diubah menjadi pusat seni. Gedung-gedungnya direnovasi dan dijadikan Museo de Arte Moderne atau Museum Seni Modern, Cultural Centres atau pusat-pusat kebudayaan, Teater-teater, dan lain-lain. Jadi bagian kota yang dulunya kumuh sekarang tidak ada lagi, dan orang-orang kaya dipaksa untuk datang kesini karena banyak sekali pertunjukan ataupun pagelaran ataupun pameran seni di area ini sekarang. Hebatnya pula, mereka membangun jaringan metro-nya sampai sini juga, jadi semua kelas masyarakat dilayani sama rata. Estacion Central merupakan bangunan yang juga sangat menarik karena konon dibangun oleh Eiffel (tahu kan yang membangun Menara Eiffel di Paris?). Atap stasiunnya juga dibuat dari besi baja seperti yang ada di Menara Eiffel. Bagus dan unik deh.

Tidak jauh dari situ juga terdapat Parque Quinta Normal yang dulunya dibangun sebagai kebun raya di tahun 1830, tapi sekarang menjadi taman kota yang indah, luas dan sangat hijau. Kita tidak perlu bayar apapun untuk jalan-jalan di taman ini. Letak taman ini tepat disebelah stasiun Quinta Normal, yang saat ini menjadi stasiun terakhir ke arah area ini.

Kami juga pergi mengunjungi Museumnya Salvador Allende atau nama lengkapnya Museo de la Solidaridad Salvador Allende. Museum ini sengaja dibangun di bagian kota yang paling miskin sebagai ungkapan solidaritas kepada penduduknya yang miskin pada saat itu, tapi ternyata Museumnya tutup, konon karena ada pergantian direktur yayasannya. Untungnya oom Andre agak ngotot minta masuk bilang mau ngintip aja sebentar, eh malah bisa ngobrol sama kuratornya dan selanjutnya diperkenalkan pada ketua Yayasan Salvador Allende, sebuah LSM (lembaga swdaya masyarakat) terbesar di Chile untuk urusan hak-hak asasi manusia. Museum ini biasanya menggelar koleksi karya-karya seniman dari Amerika Latin dan Eropa yang disumbangkan ke Chile antara tahun 1970 dan 1973 untuk menunjukkan rasa solidaritas mereka dengan pemerintahan presiden Allende. Presiden Salvador Allende adalah presiden yang dijatuhkan pada saat kudeta militer tahun 1973 di Chile, dan beliau meninggal ditembak di istana kepresidenan La Moneda yang pada waktu itu beliau pertahankan. Istana ini sekarang ini sedang direnovasi, jadi bude tidak bisa berkunjung kesana.

Hari itu kami makan siang bersama oom Alejandro di restoran yang dulunya menjadi tempat pengambilan gambar film terkenal ’Agua para Chocolate’. Tempatnya asik banget, bergaya Mexico lengkap dengan sumur tua dan teras rumah yang memanjang, dan yang penting makanannya itu lho, sedap sekali.

Hari itu kami mampir di apartemen oom Alejandro yang terletak di tengah kota, tepatnya di Plaza Italia. Apartemennya terletak di lantai 18 dan sangat berpotensi jadi apartemen yang sangat indah. Sekarang ini oom Alejandro masih melakukan renovasi sana sini di apartemennya, jadi masih belum kelihatan rapi. Pemandangan dari terasnya sangat indah, kita bisa lihat kota Santiago dengan latar belakang pegunungan Andes dengan puncaknya yang masih ditutupi salju. Wah romantis sekali ya!

Kami juga berkunjung ke salah satu rumah yang dulu ditinggali oleh penyair Pablo Neruda yang disebut La Chascona. Pablo Neruda adalah penyair Chile yang paling terkenal. Syair-syairnya masih sangat dihapal oleh orang Chile dan mereka masih sangat mencintai beliau walaupun sudah meninggal. Kalau tidak salah, beliau pernah menjadi dutabesar Chile di Indonesia lho, hanya bude lupa kapan tepatnya. Di depan La Chascona ada 6 tugu batu yang bertuliskan puisi yang konon paling disukai beliau. Sekarang tempat ini jadi tempat nongkrong penyair-penyair muda Chile.

Bude lanjutkan dengan kunjungan ke tempat-tempat budaya lain di kota Santiago ya. Kita mulai dengan Museo Nacional de Bellas Artes atau Museum Nasional Seni Murni. Gedung museumnya bergaya art-nouveau, keren banget, dan salah satu sayapnya sedang direnovasi. Kelihatannya Chile sedang banyak melakukan renovasi. Banyak sekali bangunan tua yang direnovasi dijadikan bangunan publik, seperti museum, pusat kebudayaan, dan lain-lain, tapi juga sedang banyak dilakukan pembangunan baru. Salah satu yang kita lewati beberapa hari lalu di Avenida Matucana adalah pembangunan Perpustakaan Nasional yang besaaaar sekali, padahal mereka sudah punya Biblioteca Nacional yang juga besar dan digunakan untuk konser dan pameran kontemporer. Kami berdua terbengong-bengong melihat besarnya calon perpustakaan ini. Betapa beruntungnya penduduk Santiago nanti mempunyai perpustakaan nasional yang begitu besar dan modern. Kapan ya Indonesia mempunyai yang seperti ini?

Kembali ke Museo Nacional de Bellas Artes, pada saat kami kunjungi hari Jum'at itu penuh dengan anak-anak sekolah, mulai anak SD sampai SMA. Di museum ini, obyek tetapnya adalah lukisan-lukisan dan patung-patung karya pelukis dan pematung Chile maupun asing. Tiket masuknya 2 dolar. Sebetulnya untuk kami berdua bisa gratis karena kami punya kartu wartawan, tapi kami pikir biaya masuknya tidak seberapa dan mungkin bisa untuk membiayai pameran yang lain. Untuk 2 bulan ini, museum ini menggelar 64 patung dan sketsa dari Auguste Rodin yang langsung diterbangkan dari Museum Rodin di Paris. Auguste Rodin adalah salah satu pematung paling terkenal di dunia. Bayangkan betapa penduduk Santiago dimanjakan dengan karya-karya yang spektakuler di sini, dan hal ini sangat dimanfaatkan oleh para pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Rasanya iri banget deh kalau membandingkannya dengan Museum Nasional di Jakarta. Kapan ya mereka bisa seperti ini? Bude ingat pergi kesana beberapa bulan lalu, tiket masuknya hanya Rp. 2,000 tapi kondisi museumnya sangat memprihatinkan. Mas Adna dan adek Ilham juga pernah kesana kan? Bude belum pernah ke sayapnya yang baru, tapi rasanya kok jauh banget ya perbedaannya dengan yang ada di luar negeri, terutama dalam hal koleksi dan pengaturannya dan yang lebih penting lagi pemeliharaannya.

Selain Rodin, di museum itu juga sedang digelar karya-karya kontemporer lain, tapi kami tidak sempat mengunjunginya karena rasanya masih sangat terkesan dengan karya-karya Rodin. Mungkin nanti kalau kembali ke Chile, kami akan kesini lagi. Dan katanya setelah pameran karya Rodin, Santiago akan mendatangkan karya Salvador Dali.

Keluar dari museum, kami berdua duduk-duduk di depan museum sambil menikmati 'juggler' yang lagi beraksi di jalanan (itu lho seperti badut yang beraksi lempar beberapa bola bersamaan, tidak tau deh namanya apa di Jakarta ya). Di Santiago ini, ada juga orang yang jualan di lampu-lampu merah tapi jumlahnya tidak banyak dan biasanya mereka berasal dari Peru, tapi yang mereka jual hanya permen, coklat, dan minuman. Walaupun Chile termasuk negara kaya, bukan berarti tidak ada mobil butut yang mogok. Pas kami berdua sedang duduk-duduk disitu, eh ada mobil yang kepanasan radiatornya. Jadi inget jaman dulu waktu mobil bude masih Honda Civic tahun 77!!! Hahaha....

Setelah puas menonton orang yang lalu lalang di situ, kami berdua ngopi di salah satu kedai kopi di dekat museum. Ternyata kebanyakan kedai kopi punya galeri, jadi selain menyeruput kopi panas kita juga bisa pergi melihat karya-karya kontemporer di galerinya.

Kami meneruskan jalan kaki melewati Cerro Santa Lucia, sebuah bukit berbatu yang tingginya 70 meter di tengah kota. Tapi kali ini kami tidak naik ke atas bukit, karena terus terang saja bude kan paling males untuk naik bukit, hehehe.... Katanya di bukit ini ada patung pemimpin Mapuche. Mapuche adalah suku bangsa asli di Chile.

Kami melanjutkan dengan jalan kaki mengelilingi bagian tengah kota yang dulunya penuh apartemen mahal tapi sekarang apartemen-apartemen mahal sudah pindah ke bagian kota bernama Providencia dan Las Condes. Jalan kaki di tengah kota Santiago enak sekali karena tempat pejalan kakinya lebar dan mulus. Tidak sengaja kami melewati Museo Arqueologico de Santiago (Museum Arkeologi Santiago) dan Museo de Artes Visuales (Museum Seni Visual), yang selain menggelar karya-karya seni arkeologi, antropologi Chile dan jaman pra-Colombia, mereka sekarang juga dilengkapi dengan museum fotografi dan video. Gratis masuk ke kedua museum ini.

Malam harinya bude, oom Andre dan oom Alejandro pergi makan ke suatu tempat di tengah kota, tidak jauh dari Plaza Italia yang namanya Bellavista. Tempat ini penuh dengan restoran, cafe, dan tempat pertunjukan lain. Kami makan malam di kafe yang sangat antik dekorasinya, namanya Azur Profundo (artinya Biru Tua). Tempat ini penuh dengan orang-orang yang makan malam bersama kelompoknya. Suasananya ramai sekali. Sebagai orang dari Amerika Latin, mereka senang pergi bercengkerama, makan, minum dengan teman-temannya. Suasana seperti ini selalu diiringi dengan lagu-lagu berirama latin yang riang gembira. Dan makanannya itu lho..... wuih, endang bambang gurindang!! Semua makanan dari seafood yang segar, dan rasanya enaaaaakkkk! Makanan favorit bude di Chile adalah 'macarones a pil-pil': masakan udang segar pake cabai merah gitu tapi bukan seperti balado lho! Pokoknya sedap deh.

Setelah makan malam kami bertiga pergi ke restoran di seberangnya yang akan menggelar tari Flamenco. Di sini sebelum pertunjukan tari flamenco, kami dihibur dengan lagu-lagu balada Spanyol yang keren abis. Penyanyi ceweknya sudah agak tua tapi suaranya bagus sekali!! Band yang mengiringinya 3 orang cowok yang masih muda dan keren, hehehe, eh terus yang nari flamenco ternyata cowok!! Tapi bagus juga! Bertahun-tahun lalu bude pernah lihat orang menari flamenco di Jamz, tapi yang di Santiago ini kayaknya lebih keren deh.

Bude Ocie dan oom Andre juga pergi ke Opera, melihat pertunjukan opera dengan judul Lohengrin, yang diciptakan oleh komposer Richard Wagner. Beliau adalah komposer kelas dunia, dan di Jakarta bude belum pernah lihat opera klasik seperti ini. Tapi opera ini bukan untuk anak-anak, terlalu berat jenis musiknya. Bude dan oom Andre di sini juga dapat tiket murah setengah harga karena belinya 2 jam sebelum pertunjukan dimulai. Pertunjukannya dipenuhi oleh orang-orang Santiago yang kelihatannya kebanyakan orang kaya. Mereka pergi ke konser dengan dandanan yang keren-keren, tapi kok banyakan orang tua ya... hehehe... Untuk opera anak-anak, kebetulan pas bude di sini tidak ada pertunjukannya, jadi bude tidak tahu apa yang biasanya dipertunjukan di sini. Selain opera untuk anak, ada juga teater dan bioskop yang memainkan tema anak-anak. Di sini, orang rajin sekali mengantri, karena untuk masuk ke teater ataupun bioskop mereka harus antri. Tidak seperti di Indonesia yang sudah diberi nomor tempat duduk, di sini orang bebas mau duduk dimana saja, makanya mereka antri supaya bisa pilih tempat duluan.

Karena bude belum bisa berbahasa Spanyol, maka waktu bude nonton film disini, bude tidak mengerti artinya, hanya menikmati alur cerita dan gambarnya saja....hehehe.... tapi nggak nyesel kok, karena bude sambil belajar mengerti bahasa Spanyol. Kami berdua pergi nonton film dari Korea dan dari Rusia.

Cium sayang dari Santiago,

Bude Ocie

1 comment:

Unknown said...

Salam kenal Bude Ocie
Saya pengeeeennn buanget mengunjungi Chile...
Punya sahabat yang baik banget dari Chile, jadinya pengen kapan-kapan mengunjungi dia disana.
Mahal banget ga sih bude tiketnya?