Thursday, March 29, 2007

Cerita dari Uruguay

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Kali ini bude Ocie ingin cerita tentang perjalanan bude Ocie dan oom Andre ke Uruguay. Untuk bisa pergi ke Uruguay, sebagai orang Indonesia kita harus mendapatkan visa masuk ke Uruguay. Tidak ada kedutaan Uruguay di Indonesia, jadi kalau tidak memasukkan permohonannya di Kuala Lumpur, kita bisa juga mengirimkan permohonannya lewat email. Pada waktu itu bude mengirimkan permohonan visanya ke Kantor Konsulat Uruguay yang ada di Chile. Tapi sampai bude berangkat ke Argentina, bude belum terima persetujuan mendapatkan visanya, jadi bude harus pergi ke Kedutaan Uruguay yang ada di Buenos Aires. Karena sudah diproses dan dibantu oleh seorang teman di Uruguay, maka tidak terlampau sulit, tapi tetap saja kami harus dua kali datang kesana sampai dapatkan visanya. Padahal untuk masuk ke Chile dan Peru orang Indonesia tidak perlu pakai visa, sama seperti kalau kita mau ke negara-negara ASEAN. Enak sekali. Tapi kalau ke Argentina dan Uruguay kita harus pakai visa.

Setelah dapat visa, bude Ocie dan oom Andre pergi ke terminal Buquebus untuk pesan tempat. Buquebus adalah alat angkutan air seperti kapal ferry tapi mewah. Kita bisa pesan di kelas 1 atau di kelas ekonomi. Tidak banyak bedanya hanya tempat duduk di kelas 1 sedikit lebih lebar dan tempatnya di lantai atas. Di dalam Buquebus ini bahkan ada Duty Free Shop, itu lho Toko Bebas Bea yang biasanya ada di bandara-bandara. Disini kita bisa beli barang-barang tanpa harus bayar bea masuk/pajak.

Sewaktu kami akan masuk kedalam Buquebus, kami harus melewati pemeriksaan imigrasi. Yang unik adalah kami harus melewati imigrasi Argentina dan kemudian langsung ke imigrasi Uruguay yang letaknya bersebelahan. Betul-betul bersebelahan mejanya. Cukup unik bukan? Belum pernah rasanya bude lihat yang begini, biasanya paling tidak ada jarak beberapa meter (kalau di darat bisa beberapa ratus meter), tapi disini betul-betul hanya bersebelahan meja. Jadi petugas imigrasi Argentina akan mencap paspor kita untuk keluar Argentina dan kemudian dia akan memberikan paspor kita kepada petugas imigrasi Uruguay untuk dicap masuk Uruguay. Sangat cepat dan efisien kalau semua syarat-syarat sudah ada. Yang membuat lama adalah karena bude Ocie ingin kembali masuk ke Argentina tapi ternyata visa Argentinanya dihitung tidak hanya selama bude disana tapi sejak mulai masuk Argentina dan berakhir 15 hari setelah itu walaupun bude baru disana selama 7 hari saja. Jadi bude tidak akan bisa balik lagi ke Argentina kalau bude berada di Uruguay lebih dari 7 hari. Repot sekali kan? Padahal petugas di kedutaan Argentina menerangkan bahwa 15 hari itu kumulatif masa tinggal di Argentina. Wah jadi rugi bude tidak bisa kembali ke Argentina hanya gara-gara petugas kedutaan Argentina salah menerangkan. Makanya kita harus hati-hati pada saat memasukkan permohonan visa, jangan hanya percaya pada petugasnya karena yang terjadi di lapangan bisa berbeda dengan yang diterangkannya dan tidak ada yang bertanggung jawab untuk kesalahan ini.

Akhirnya kami bisa masuk Buquebus dan duduk di kelas 1 dengan nyamannya. Di sini kita tidak akan diberikan makan atau snack, tapi ada tempat yang jualan makanan dan minuman di dalam Buquebus ini. Karena ini pertama kali bude naik angkutan air dari satu negara ke negara lain, maka bude tidak ingin makan atau minum, hanya ingin menikmati perjalanannya dan mengamati bagaimana perjalanan ini. Pemandangan ke arah belakang ke kota Buenos Aires sangat indah dari Rio de la Plata yang kami lewati untuk sampai ke kota Montevideo, ibukota Uruguay. Seperti bude Ocie sampaikan di surat yang lalu, air di lautan yang memisahkan Buenos Aires dan Montevideo ini warnyanya bukan biru tapi coklat, seperti warna air sungai. Mereka bilang karena memang ini bukan lautan tapi sungai Plata. Warnanya coklat keemasan gitu.

Perjalanan dari Buenos Aires ke Uruguay memakan waktu 2 jam. Tapi karena bude Ocie sangat ‘excited’ dengan pengalaman pertama naik Buquebus ini jadi tidak terasa. Kami akhirnya sampai di terminal Buquebus di Montevideo. Terminal Buquebus yang di Buenos Aires sudah seperti bandara saja, tapi yang di Montevideo lebih tua. Setelah mengambil bagasi, kami berdua mencari teman kami di Montevideo yaitu oom Agustin, tapi sampai semua pergi dari terminal kok belum kelihatan juga. Akhirnya kami berdua naik taksi ke hotel yang sudah kami pesan. Kami agak khawatir karena kami belum punya uang Uruguay, tapi ternyata supir taksinya baik sekali, kami boleh bayar pake uang peso Argentina! Nanti bude akan cerita lebih banyak tentang taksi di Montevideo ini.

Hotel yang dipesankan oleh oom Agustin ternyata terletak di tengah kota dan sangat dekat dengan Cinemateca 18, tempat dimana akan diadakan Festival de Invierno (Winter Film Festival). Film dokumenter kita ‘TERLENA – Breaking of a Nation’ akan ikut serta disini. Oom Agustin adalah yang membuat terjemahan film ini kedalam bahasa Spanyol. Festival ini adalah khusus untuk film dokumenter.

Malam itu ternyata oom Agustin menunggu di pintu yang berlainan, bukan di pintu kami keluar, jadi kita tidak ketemu di terminal. Tapi waktu kami sedang check-in di hotel Klee, oom Agustin datang. Oom Agustin masih sangat muda, baru 22 tahun usianya, tapi dialah yang menjadi Pemimpin Redaksi ’Revista Z’, sebuah majalah progresif di Uruguay. Orangnya keren, khas pemuda Latino, tinggi, berambut sebahu dan tidak banyak bicara. Tapi ternyata oom Agustin seorang pekerja keras, karena sewaktu malam itu kami makan malam bersama, dia sudah memberikan jadual acara yang harus kita datangi, dan hampir tiap hari ada saja acara yang sudah diatur olehnya. Ada acara pemutaran film kita, tentu dengan acara penjelasan atas film ini, ada juga wawancara dengan koran, majalah, radio dan bahkan televisi. Belum lagi acara bincang-bincang dengan teman-temannya di Montevideo. Wah kami cukup kagum dengan si oom yang satu ini. Tidak banyak bicara tapi banyak bekerja!

Hotel Klee tempat kami menginap juga tidak kalah menarik. Letaknya di pojokan antara Jl. San Jose dan Aquiles Lanza, hanya 20 meter dari salah satu jalan utama di Montevideo, yaitu Avenida 18 de Julio. Hotelnya kecil, hanya 4 lantai, tapi sangat bersih dan kamarnya sangat nyaman. Ada penghangat udara karena sekarang ini sedang musim dingin dan suhu udara bisa mencapai 4 derajat Celsius! Tarif kamarnya juga murah, hanya 25 dolar per malam, sudah termasuk makan pagi. Pegawai hotelnya sangat ramah dan bahkan salah seorang diantara mereka bilang kalau mereka akan datang di hari pemutaran film kami karena mereka sangat tertarik dengan apa yang terjadi di Indonesia. Sangat mengharukan mendengar orang mengatakan hal itu padahal di Indonesia saja jarang sekali kami mendengar orang antusias menonton film kami. Mengapa ya? Apakah orang Indonesia memang sudah benar-benar terlena?

Tepat diseberang hotel kami ada sebuah bangunan tua, dulunya pasar, tapi sekarang sudah diubah menjadi tempat makan seafood dan tempat kerajinan tangan Uruguay, namanya Centro Cultural Mercado de los Artesanos. Di lantai bawah mereka gunakan untuk tempat kerajinan tangan dari berbagai seniman di Uruguay, sedangkan lantai atas digunakan untuk tempat makan. Kalau lihat tempatnya sih pasti tidak menyangka kalau makanannya sangat enak disini. Bayangkan bangunan tua bekas pasar, langit-langitnya tinggi, dan arealnya dibagi menjadi beberapa restoran terbuka. Karena musim dingin, makan ada tungku pemanas jaman dahulu tersebar di beberapa tempat. Bude selalu pilih tempat yang dekat tungku pemanas ini karena hawanya dingin sekali. Makanan seafoodnya enak sekali dan murah. Menu makan siang termasuk ikan, kentang goreng/rebus, minuman dan makanan penutup bisa kita nikmati hanya dengan membayar sekitar 3 dollar saja. Tidak heran, kalau jam makan siang, tempat ini penuh sesak. Orang yang datang termasuk profesor, usahawan, seniman, juga mahasiswa dan karyawan. Rupanya yang menjadi favorit adalah ikan panggang/bakar dan makanan penutup ’dulce de leche’. Ikan panggang atau ikan bakarnya tidak usah pakai saus apapun, hanya dengan jeruk saja, sudah sedaaaaap sekali. Dan dulce de leche ini sebangsa puding susu khas Amerika Latin. Kita bisa dapatkan di berbagai negara di Amerika Latin, tapi kata orang Uruguay, dulce de leche dari Uruguay yang paling sedap.

Kalau di malam hari, kota ini tidak seramai Buenos Aires, tapi masih banyak tempat yang ramai dikunjungi penduduk Montevideo. Mereka juga senang makan dan kumpul-kumpul. Yang paling banyak menjadi tempat kumpul adalah Cinemateca dan Pizzaria. Banyak warung pizza yang menyuguhkan hidangan khas italia ini dengan harga yang sangat terjangkau mahasiswa dengan cita rasa yang tidak kalah dengan di Italia sendiri. Mau jam berapapun kita datang, mereka masih buka. Banyak orang yang pulang kerja terus nongkrong bersama teman-temannya makan pizza dan minum soda di warung-warung seperti ini. Kalau kita bicara warung, tidak seperti warung pinggir jalan di Jakarta yang kebanyakan kurang bersih, disini semua harus bersih, jadi orang juga senang makan disini. Karena ini musim dingin, maka warung-warung ini ditutup tenda tembus pandang dan didalamnya ada pemanas udara. Pernah waktu bude Ocie dan oom Andre kelaparan tengah malam, ternyata masih ada keluarga yang membawa bayinya makan disana!!

Makanan Italia adalah salah satu jenis makanan yang paling mudah dicari di Uruguay dan penduduknya sangat senang berkumpul di restoran yang menyajikan jenis makanan ini selain tentunya restoran yang menyajikan ‘asado’ atau daging panggang dengan menggunakan kayu.

Festival Film Musim Dingin yang diadakan di Montevideo adalah salah satu acara seni yang sangat diminati kalangan elite disini. Cinemateca 18 – tempat pemutaran film kami ‘TERLENA – Breaking of a Nation’- berkapasitas 700 orang. Penduduk Montevideo juga dimanjakan dengan pemutaran film-film seni di sini dengan membayar biaya keanggotaan yang sangat murah dan mereka bisa menonton film apapun kapanpun selama 6 bulan keanggotaan. Bude Ocie perhatikan, kebanyakan yang datang adalah anak-anak muda, mahasiswa atau karyawan, tapi cukup banyak pula orang yang sudah tua, bahkan lebih tua dari eyang di Bandung, yang datang untuk mononton film kami. Direktur dari Cinemateca 18, dan juga Ketua Panitia Festival Film ini juga sudah cukup umur, namanya Bapak Manuel . Tapi dia masih sangat aktif dan setiap hari masih memperkenalkan sutradara/produser film dokumenter yang ikut serta dalam festival ini. Oom Andre juga diperkenalkan oleh pak Manuel ini sewaktu harus memberikan penjelasan tentang film yang akan diputar. Setelah film diputar, banyak sekali yang memberikan selamat kepada kami berdua, mengucapkan terimakasih sudah membuat film ini dan membawanya ke kota mereka, dan juga banyak yang mengajak kami minum kopi bersama setelah pertunjukan. Orang Uruguay mengatakan bahwa banyak kesamaan antara apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dengan yang terjadi di negara mereka tapi dalam skala yang sangat kecil.

Setelah pemutaran film kami bersama oom Agustin dan teman-temannya pergi ke salah satu pizzaria tidak jauh dari Cinemateca 18. Salah satu diantara yang ikut serta adalah seorang sutradara film Uruguay yang tinggal di Barcelona – namanya oom Carlos Callero – dan dia ingin sekali agar Terlena ikut serta dalam festival film Barcelona yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Tentu saja oom Andre dan bude Ocie senang sekali kalau kita bisa ikut serta lagi dalam festival film disana! Kami ngobrol ngalor ngidul sampai pagi sambil makan pizza bersama teman-teman dari Montevideo. Rasanya sudah lama juga tidak bergadang ngobrol ngalor ngidul sampai pagi. Ada yang pemusik, ada yang bekerja bersama oom Agustin di Revista Z, ada juga yang bekerja di Cinemateca, dan beberapa jurnalis. Sewaktu kita membicarakan seni dan musik Indonesia, mereka bahkan meminta bude Ocie untuk memperlihatkan bagaimana tarian Bali itu... hehehe... terbayang kan bude Ocie menari sedikit di sana? Akhirnya kita semua sepakat pulang hampir pukul 3 dini hari. Bude Ocie dan oom Andre bisa jalan kaki pulang ke hotel kami, tapi teman-teman lain harus naik taksi karena angkutan umum sudah sangat jarang. Yang jelas kota ini juga sangat aman. Cewek-cewek berani pulang sendirian bahkan pada jam 3 dini hari!!

Oke, kali ini sampai sini dulu, nanti bude sambung dengan cerita tentang kota Montevideo ya.

Cium kangen,

Bude Ocie

No comments: