Wednesday, March 28, 2007

Cerita tentang orang Mapuche

Yang tersayang Adna dan Ilham,

Di surat-surat sebelumnya bude Ocie sudah cerita tentang kota Santiago dan Valparaiso di Chile. Sekarang bude ingin cerita tentang perjalanan bude Ocie dan oom Andre ke daerah orang asli di Chile, yaitu orang Mapuche. Penduduk asli di Amerika Latin ini ada beberapa, di Chile mereka dari suku bangsa Mapuche, di Peru mereka dari suku bangsa Quechua dan Aymara, sedangkan di Argentina dan Uruguay, mereka dari suku bangsa Quechua dan Guarani.

Kami sewa mobil untuk pergi ke tempat tinggal orang Mapuche di Chile. Hari pertama kami berangkat ke Temuco, 674 km dari Santiago. Cukup jauh juga ya, lebih jauh kalau kita naik mobil dari Jakarta ke Sragen, misalnya. Tapi karena di sini jalan tol Pan America yang menghubungkan negara-negara di Amerika Latin ini sangat mulus, maka kami bisa sampai di Temuco dalam waktu kurang dari 7 jam. Itupun sudah termasuk berhenti beberapa kali untuk isi bensin, makan siang, dan lihat-lihat kota yang dilewati. Pada perjalanan ini kami makan siang di sebuah rumah tua yang diubah jadi hotel bagus sekali dan punya rumah makan yang mewah. Walaupun kelihatannya mewah, ternyata harganya masih jauh lebih murah daripada makan di hotel bintang lima di Jakarta. Seringnya sih kalau sedang jalan-jalan naik mobil, kita beli roti saja di pom bensin. Pom bensin di sini asik deh, lengkap dengan restoran, kamar mandi yang bersih yang kadang bisa juga lengkap dengan tempat mandi, dan supermarket kecil yang lengkap. Kita bisa makan sederhana yang cepat ataupun dengan menu betulan yang agak lama. Tapi seringnya kami isi bensin sambil ngopi, karena kan bude Ocie dan oom Andre harus gantian nyopirnya.

Besoknya kami langsung pergi ke daerah yang paling miskin di Chile, namanya Puerto Saavedra. Dulu daerah ini pernah kena tsunami, dan sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangunan yang dulu terkena tsunami. Di Puerto Saavedra ini tinggal bangsa asli Mapuche. Sekarang pemerintah Chile membuat kompleks perumahan baru untuk tempat tinggal mereka. Tapi lucunya, walaupun mereka diberi rumah baru, mereka tetap membawa barang-barang yang dulu ada di rumah mereka yang lama. Mereka masih menyimpan barang-barang yang sebetulnya rongsokan, seperti seng-seng yang sudah karatan, atau barang lain yang sebetulnya tidak cocok untuk rumah baru mereka. Jadi walaupun sudah diberi pagar yang bagus, mereka tetap menempelkan seng karatan untuk bahan pagar mereka, kan jadinya kelihatan kumuh lagi. Kenapa begitu ya?

Karena bude Ocie dan oom Andre datang kesana pada musim dingin, maka kebanyakan rumah makan tutup. Hanya ada satu rumah makan yang buka dan kelihatannya ramai, maka kami berdua masuk kedalamnya. Ternyata, banyak sekali orang Mapuche yang sedang ada di sana. Mereka sedang mempersiapkan acara adat di sana. Banyak sekali makanan khas mereka di atas meja dan beberapa orang sedang berdandan memakai pakaian khas Mapuche. Beruntung sekali bude bisa lihat mereka dari dekat, karena jarang lho bisa lihat acara adat mereka. Jadinya sambil menunggu makan siang yang tentu saja lain daripada yang mereka siapkan, kami berdua bisa melihat bagaimana persiapan acara adat mereka.

Setelah dari Puerto Saavedra, kami langsung berangkat ke kota Pucon, dengan melewati kota Villarica. Villarica dan Pucon berada di pinggir danau Villarica. Kedua kota ini terkenal sebagai kota resort, dan sangat disukai oleh penduduk Chile. Kalau hari Sabtu dan Minggu, orang dari Santiago banyak berdatangan kesini. Banyak sekali penginapan dan hotel di pinggri danau di sini. Pemandangannya indah sekali. Kami berdua juga menginap di salah satu penginapan di sini, karena sebetulnya kami akan menginap di rumah temannya oom Andre di Curraruehue (bacanya Kurarewe), tapi pas kita mau berangkat, alat pemanas di rumah mereka meledak, jadi tidak ada pemanas, padahal di atas gunung kan dingin sekali, jadi kami berdua tidak jadi deh tinggal di rumah mereka. Bayangkan kalau harus mandi pake air yang sedingin es. Terus bagaimana bisa tidur ya kalau tidak ada pemanas? Mereka sih punya perapian dengan kayu, jadi mungkin untuk tidur sih tidak masalah, tapi brrrrrr kebayang dinginnya kalau harus mandi pagi.....

Keesokan harinya, oom Txus dan tante Anna Lu, teman oom Andre dari Spanyol yang bude ceritakan sebelumnya, bersama kami pergi ke gunung dan ke perbatasan antara negara Chile dan Argentina. Pada perbatasan Chile, kami tanyakan apakah bisa ke Argentina atau tidak, dan mereka bilang sih bisa saja kalau mau tapi harus tinggalkan mobil sewaan di perbatasan. Tapi kalau mau lihat-lihat saja sih boleh. Akhirnya kami berempat pergi ke perbatasan dan menyeberang ke Argentina. Lucunya, jarak antara petugas perbatasan Chile dan Argentina jauh sekali, jadi kami bisa ke Argentina tanpa harus diperiksa paspornya dan dicap. Kebayang tidak sebuah perbatasan negara di gunung yang sedang ditutupi salju? Sepi dan kita bisa seenaknya nyebrang ke negara lain... Di perbatasan itu ada sebuah taksi. Supirnya menunggu dibawah pohon, dan kalau kita lihat dari jauh, seperti seorang penjahat di film-film yang sedang nunggu mangsanya... hehehe... Ternyata supir itu sedang nunggu penumpang yang akan dibawa oleh taksi lain dari Argentina. Lucu ya, bisa tuker taksi disana. Tapi kalau dipikir, jauh juga itu supir taksi ngambil penumpang! Perbatasan ini jaraknya sekitar 20 km dari kota terdekat dan melewati gunung bersalju.

Di pegunungan ini banyak terdapat pohon yang menjadi lambang orang Mapuche, yaitu pohon Araucania. Daunnya tidak gugur pada musim gugur, jadi walaupun musim dingin, hutan dengan pepohonan Araucania masih terlihat hijau. Katanya sih pohon ini bawa sial kalau ditebang, makanya di tengah jalan bisa ada pohon ini dan jalannya memutari pohon ini.

Setelah dari sana, kita jalan melewati perkampungan orang Mapuche. Kita tidak pergi ke puncak gunung tempat tinggal mereka yang asli karena harus naik mobil yang khusus untuk naik gunung. Tapi kita melewati perkampungan mereka di Curraruehue, dan di sana kita bisa lihat bagaimana mereka hidup. Sayangnya pendidikan mereka kurang memadai, sehingga banyak yang hanya jadi pegawai rendahan saja, sehingga tentu saja tidak bisa membiayai hidup mereka dan keluarganya. Banyak anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya begitu saja, dan anak-anak inilah yang sekarang tinggal di rumah yatim piatu dekat tempat tinggal Tante Anna Lu dan Oom Txus. Rumah yatim piatu ini terdiri dari bangunan tempat tinggal yang punya 2 lantai, bangunan sekolah, bangunan tempat makan dan bermain serta lapangan bermain dan lapangan olah raga. Lengkap ya? Kompleks rumah yatim piatu ini adalah sumbangan dari pemerintah Basque di Spanyol. Bude Ocie dan oom Andre diajak oleh tante Anna Lu dan oom Txus untuk lihat-lihat ke rumah yatim piatu itu. Dari luar bisa kita bilang bahwa mereka itu dalam bangunan yang bagus, dan memang di dalamnya juga, tapi kalau lihat anak-anak yang ada disana, rasanya sedih gitu. Di salah satu ruangan tempat mereka bermain, ada seorang ibu muda yang bermain bersama salah satu anak disana. Ternyata ibu muda itu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh rumah yatim piatu itu karena dia tidak sanggup untuk merawatnya sendiri. Kasihan ya? Kami juga lewat di tempat mereka menyimpan sepeda-sepeda, wah masih bagus-bagus, dan pasti anak-anak itu senang main sepeda seperti mas Adna dan adek Ilham kalau cuacanya sedang tidak musim dingin. Yang unik adalah bangunan dimana mereka makan dan berkumpul dan bermain. Bentuknya seperti payung, terbuat dari kayu, dan katanya ini adalah arsitektur bangsa Mapuche.

Bangsa Mapuche adalah satu dari 3 suku bangsa Indian yang termasuk kelompok bahasa Araucanian yang survive dan tinggal di daerah yang sekarang disebut Chile dan Argentina sebelum bangsa Inca dan Spanyol datang. Mereka mengklaim bahwa bangsa mereka tidak pernah dikalahkan oleh bangsa Spanyol maupun Inca. Bangsa Mapuche, yang namanya berarti ’orang bumi’, kelihatan seperti orang Mongolia/Cina, sehingga sangat berbeda dengan orang Chile yang berasal dari Eropa.

Kebanyakan orang Mapuche tinggal di bagian Tengah Selatan Chile, di Propinsi ke-8, ke-9 dan ke-10, tapi yang terbanyak adalah di propinsi ke-9. Tanah yang mengelilingi mereka terkenal karena lembah-lembahnya yang subur dan sangat indah dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Namun sekarang ini sudah banyak orang Mapuche yang pindah ke kota-kota besar di Chile.

Mas Adna dan adek Ilham tahu tidak kalau bentuk negara Chile itu seperti cacing, panjang tapi sempit. Lebarnya hanya sekitar 161 km, tapi panjangnya mencapai 4.265 km. Jadi panjang negaranya mencapai 25 kali lebarnya. Lucu ya? Dan yang lebih unik lagi, sepanjang bagian Baratnya adalah lautan Pasifik, dan di bagian Timurnya adalah pegunungan Andes. Negara ini terletak di area yang sering dilanda gempa, dan juga pernah dilanda tsunami, seperti yang bude ceritakan di cerita sebelumnya. Nah di tahun 1818 ketika Chile membebaskan diri dari Spanyol, bangsa Mapuche diberi areal khusus yang disebut La Frontera. Tapi bangsa Mapuche baru mengakuinya di tahun 1881, karena terdesak dan mereka harus mengakui sebagai bagian dari bangsa Chile dan sekarang diberikan tempat tinggal khusus.

Biasanya rumah tradisional bangsa Mapuche sangat sederhana, dengan atap rumbia dan lantai tanah. Namun sekarang sudah banyak dari mereka yang tinggal di perumahan yang disubsidi oleh pemerintah, jadi sudah lebih modern tapi masih sederhana, dengan lantai kayu dan atap seng. Walaupun demikian, kebersihan dan kesehatan di perumahan mereka masih buruk, tapi sudah jauh lebih baik sekarang ini.

Bangsa Mapuche pada dasarnya adalah petani tradisional. Mereka yang tinggal di gunung biasanya bertani, sedangkan yang tinggal di pantai biasanya nelayan. Banyak wanita Mapuche yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota-kota. Anak muda biasanya meneruskan pindah ke kota-kota untuk mencari kesempatan bekerja yang lebih baik, karena sekarang ini semakin sedikit tanah yang bisa mereka kerjakan di tempat reservasi mereka.

Bangsa Mapuche sangat pandai dalam membuat karya-karya seni. Mereka mahir membuat hiasan-hiasan rambut, baju dan lain-lain untuk dipakai oleh wanita Mapuche. Tekstil mereka merupakan campuran warna yang indah, dengan desain yang mereka pinjam dari bangsa Inca, yang didominasi kotak-kotak, bentuk anak tangga dan garis-garis zigzag. Ada juga yang mahir dalam menganyam karpet dan membuat pot-pot keramik.

Musik tradisional bangsa Mapuche adalah musik folklore. Musik ini sangat dipengaruhi oleh nenek moyang mereka, begitu juga karya sastra mereka. Jadi musik mereka disebut ’rhapsodi Araucanian’ dan sajak mereka disebut ’sajak Araucanian’. Dalam hal musik, tidak pernah ada kelompok yang bernyanyi bersama. Mereka selalu menyanyi solo dan selalu ada improvisasi. Alat musiknya terbatas pada trutruka (terbuat dari bambu dan cula sapi), pifüllka (sebuah flute kayu dengan dua nada), kultrun (drum kecil berbentuk mangkok) dan trompe (atau harpa Yahudi).

Menarik kan cerita tentang tanah Mapuche ini? Tapi sayang mereka sekarang masih menjadi bangsa kelas-2 di Chile. Mudah-mudahan dengan banyaknya anak muda yang tinggal di kota-kota hal ini bisa diatasi dan mereka bisa sama derajatnya dengan bangsa Chile yang lain.

Sampai jumpa di cerita berikutnya ya...

Salam sayang,

Bude Ocie

1 comment:

aa said...

tambah foto seru bude kayaknya